Peci
dan Sarung, siapa duga orang ini adalah mantan asisten dokter? Ali
bercerita sambil mengenang masa awal rantauan. Jiwa rantau semangat
rantau.
Adzan
subuh belum menggema pada dini hari, sepi masih menaungi gelapnya
Malioboro. Neon-neon lampu yang menyala sudah dimatikan, pedagang
kaki lima pun sudah tidak terlihat. Beberapa orang terlihat berlalu
lalang menawarkan hotel daerah Sastrowijayan. Sesosok bapak berambut
keriting tipis muncul, menggeser gerbang masjid. Wajahnya sangar,
berkumis tebal, dengan noda hitam pada jidatnya. Dengan bunyi gesekan
yang kasar, memecahkan sunyi di kawasan malioboro. Dialah marbot
masjid Malioboro di komplek DPRD DIY, Muhammad Ali Fitriadi, yang
tidak asing bagi masyarakat sekitar. Ia dikenal sebagai orang
rantauan dari Bengkulu.
Masjid
Malioboro tepat bersebelahan dengan gedung DPRD DIY, tidak terlalu
besar untuk sebuah masjid ditengah kota Malioboro, namun nyaman untuk
disinggahi. Nyanyi-nyanyian rohani mulai berseru melalui speaker
masjid, menandakan subuh akan segera datang. Masyarakat mulai mengisi
ruang shalat, dibawah kubah Malioboro yang serupa bawang. Beberapa
orang terlihat menginap di masjid tersebut. Menjelang adzan subuh,
Ali tidak dapat bertenang-tenang. Sebagai Marbot masjid ia harus
cepat dalam menyiapkan beberapa hal untuk keperluan shalat baik mic
hingga speaker. Apalagi, hari ini adalah hari sabtu, pengajian rutin
akan diadakan paska shalat subuh berjamaah. Sehingga, dia juga harus
menyiapkan LCD dan proyektor. Seorang pembicara diundang untuk
mengisi materi rutin. “Untung kemarin tidak telat ya? Coba telat
sedikit mungkin minggu lalu akan batal.” ucap seorang pria pengisi
pengajian kepada Ali. Minggu lalu acara pengajian rutin memang nyaris
dibatalkan dikarenakan terkendala waktu. Ali, layaknya marbot pada
umumnya, ia mengurusi masjid dari kebersihan hingga keamanan.
Beberapa kasus pencurian memang terkadang terjadi, seperti
masjid-masjid lain. Pada awal pembangunan Masjid Malioboro, beberapa
Kuningan penghias pilar dicuri oleh orang tidak dikenal. Ali tidak
bekerja sendiri, ia ditemani marbot lain yang terkadang membantu
kepengurusan masjid, namun tidak tinggal di masjid Malioboro.
Pada
tahun 1986, Seorang Dokter mengajak Ali untuk merantau ke Yogyakarta.
Sebelumnya pria berputra tiga ini tidak lain adalah seorang asisten
dokter saat masih berada di Bengkulu, dan Ali pun masih bersekolah di
SD. Dokter tersebutlah yang membiayai Ali dalam memperoleh
pendidikan. Namun, mereka berpisah ketika ia SMP karena Ali memilih
untuk tinggal di Yogyakarta. Sedangkan dokter tersebut pindah ke
Pati. Sepeninggal dokter tersebut tentu saja memaksa Ali untuk lebih
mandiri. Dia sudah berparuh waktu sebagai loper koran “Masa Kini”
dan karyawan warung padang, kesulitan ekonomi tetap melanda. Pada
akhirnya, menyebabkan Ali putus kuliah yang sebelumnya berkuliah di
STI Dakwah Syuhada.
Ali
Fitriadi besar dengan didikan agama yang kuat. Keluarga yang mendidik
ilmu agama yang baik, menciptakan ketertarikan pada dunia ilmu agama
dan dakwah sepanjang hidupnya. Hampir setengah hidup Ali digunakan
untuk mendalami ilmu agama. Ia menanggapi kondisi pendidikan agama
pada anak muda sekarang, pada dasarnya dikarenakan didikan dari orang
tua yang dinilai kurang menekankan kewajiban beragama. Berawal dengan
ilmu agama yang rendah, mendukung anak muda untuk tidak tertarik pada
agama. Ia juga menengaskan bahwa teknologi juga membuat agama menjadi
bidang yang tidak menarik, dikarenakan teknologi senantiasa berubah
setiap waktu.
Tahun
2003 adalah awal pergerakan islam Ali bertambah kuat saat menjadi
pengurus Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning,
di komplek Gubernur. Sejarah ia pernah bersekolah di STI Dakwah
Syuhada membuatnya diterima menjadi pengurus Sulthoni. Menjadi
pengurus masjid membuat segala ilmu yang ia dapat pada STI Dakwah
Syuhada tidak sia-sia. Ia aktif dalam kegiatan masjid, baik menjadi
imam, khotib, hingga mengurusi TPA. Bakat dalam dunia ilmu agama pun
tersalurkan. Pada masa kepengurusan, Ali melihat mirisnya masjid
Malioboro ketika menekuni pekerjaan sambilannya sebagai pedagang nasi
padang di Malioboro. Masjid Malioboro belum difungsikan sewajarnya
sebuah masjid, tidak mengumandangkan adzan, dan tidak pada dalam
kepengurusan.
Ali
pun mengangkat isu tentang masjid Malioboro yang disfungsi pada
diskusi rutin kepengurusan masjid Sulthoni. Ali dan kawan-kawan
membahas tentang kondisi masjid Malioboro. Jiwa mereka tergerak untuk
membantu kepengurusan masjid malioboro dalam mencari khatib, imam,
maupun pengurus lainnya. Masjid tersebut memang dalam managemen DPRD.
Setelah bertanya-tanya, mereka pun menemui bidang umum DPRD. Ali dan
kawan-kawan pun berdialog dan mencari jalan keluar pada masalah
masjid malioboro. “Ternyata kesulitannya adalah tidak adanya orang
yang standby
disini, kami memahami bahwa urusan DPRD itu juga banyak.” ujarnya.
Lalu dari DPRD tersebut menawari salah satu dari Ali dan kawan-kawan
untuk menjadi penjaga masjid Malioboro. “Akhirnya saya menyetujui”
pungkas Ali. Ia pun menjadi Marbot pertama Masjid Malioboro.
Satu
tahun sebelumnya, DPRD mengadakan pertemuan untuk membahas masalah
malioboro. Mahasiswa dan tokoh masyarakat pun diundang. Masjid
Sulthoni mendapat undangan tersebut, dan Ali pun masih menduduki
kepengurusan di Masjid Sulthoni. Pada pertemuan tersebut, Ali
mengemukakakan gagasan terhadap pembangunan masjid malioboro, agar
segera diperbaiki dan diperbesar, karena dibandingkan dengan
masyarakat malioboro dan pendatang, tentu masjid tersebut tidak
seimbang. Masjid Malioboro masih berupa Musholla, dan hanya dapat
menampung puluhan jamaah. Gagasan Ali pun diterima, dan Ali juga
menjelaskan bahwa DPRD telah mengkonsepkan tentang pembangunan masjid
Malioboro. “Masa kok gedungnya sangat megah sekali (DPRD), tapi
didepanya cuma mushola kecil, padahalnya ini kita itu mayoritas
muslim” Tegasnya.
Ali
menceritakan dengan suaranya yang berat, tentang keindahan kota
asalnya, Bengkulu. Orangtuanya adalah petani, ia juga membantu dalam
bercocok tanam dan kadang kali melaut. Tanah Subur, ladang yang luas,
juga terdapat kebun kopi dan coklat. Namun, ia memilih untuk tetap
tinggal di Yogyakarta, ia merasa lebih betah di Yogyakarta. “Mungkin
ini sudah jiwa rantau.” tegasnya dengan sedikit tertawa. Ia juga
menjelaskan keuntungan orang-orang rantau. “Orang rantau itu tidak
malu dan gengsi untuk bekerja dan berusaha, termasuk berjualan
masakan padang dan loper koran.” ucap Ali sembari tertawa.
Ali
kembali mondar-mandir di masjid Malioboro yang berarsitektur Turki.
Entah membersihkan ruangan, maupun menata sepatu. Sepuluh tahun lebih
sudah berlalu, termasuk tinggal dalam kamar berukuran 3x3, dengan
dapur dan meja makan diluar. Tentu, kemewahannya tidak bisa
dibandingkan dengan gedung yang ada di sebelah. Ia tinggal bersama
istri dan anak bungsunya. Dengan gaji Rp.500.000, ia menjelaskan
bahwa memang pas-pasan. Tidak ada biaya tambahan dari DPRD untuk dia,
sang marbot masjid malioboro. Pendapatan murni dari infaq, yang
dipotong dan menjadi jumlah 500,000 tersebut. Jika ada tambahan,
itupun dari uang kebersihan toilet yang tidak seberapa, juga ongkos
menjaga sepatu jamaah. “Kalau kita lihat itu pengurus masjid itu
semuanya prihatin.” tuturnya.