Friday, 16 May 2014

Pahlawan Bersarung Dalam Gedung Doa


Peci dan Sarung, siapa duga orang ini adalah mantan asisten dokter? Ali bercerita sambil mengenang masa awal rantauan. Jiwa rantau semangat rantau.

Adzan subuh belum menggema pada dini hari, sepi masih menaungi gelapnya Malioboro. Neon-neon lampu yang menyala sudah dimatikan, pedagang kaki lima pun sudah tidak terlihat. Beberapa orang terlihat berlalu lalang menawarkan hotel daerah Sastrowijayan. Sesosok bapak berambut keriting tipis muncul, menggeser gerbang masjid. Wajahnya sangar, berkumis tebal, dengan noda hitam pada jidatnya. Dengan bunyi gesekan yang kasar, memecahkan sunyi di kawasan malioboro. Dialah marbot masjid Malioboro di komplek DPRD DIY, Muhammad Ali Fitriadi, yang tidak asing bagi masyarakat sekitar. Ia dikenal sebagai orang rantauan dari Bengkulu.

Masjid Malioboro tepat bersebelahan dengan gedung DPRD DIY, tidak terlalu besar untuk sebuah masjid ditengah kota Malioboro, namun nyaman untuk disinggahi. Nyanyi-nyanyian rohani mulai berseru melalui speaker masjid, menandakan subuh akan segera datang. Masyarakat mulai mengisi ruang shalat, dibawah kubah Malioboro yang serupa bawang. Beberapa orang terlihat menginap di masjid tersebut. Menjelang adzan subuh, Ali tidak dapat bertenang-tenang. Sebagai Marbot masjid ia harus cepat dalam menyiapkan beberapa hal untuk keperluan shalat baik mic hingga speaker. Apalagi, hari ini adalah hari sabtu, pengajian rutin akan diadakan paska shalat subuh berjamaah. Sehingga, dia juga harus menyiapkan LCD dan proyektor. Seorang pembicara diundang untuk mengisi materi rutin. “Untung kemarin tidak telat ya? Coba telat sedikit mungkin minggu lalu akan batal.” ucap seorang pria pengisi pengajian kepada Ali. Minggu lalu acara pengajian rutin memang nyaris dibatalkan dikarenakan terkendala waktu. Ali, layaknya marbot pada umumnya, ia mengurusi masjid dari kebersihan hingga keamanan. Beberapa kasus pencurian memang terkadang terjadi, seperti masjid-masjid lain. Pada awal pembangunan Masjid Malioboro, beberapa Kuningan penghias pilar dicuri oleh orang tidak dikenal. Ali tidak bekerja sendiri, ia ditemani marbot lain yang terkadang membantu kepengurusan masjid, namun tidak tinggal di masjid Malioboro.

Pada tahun 1986, Seorang Dokter mengajak Ali untuk merantau ke Yogyakarta. Sebelumnya pria berputra tiga ini tidak lain adalah seorang asisten dokter saat masih berada di Bengkulu, dan Ali pun masih bersekolah di SD. Dokter tersebutlah yang membiayai Ali dalam memperoleh pendidikan. Namun, mereka berpisah ketika ia SMP karena Ali memilih untuk tinggal di Yogyakarta. Sedangkan dokter tersebut pindah ke Pati. Sepeninggal dokter tersebut tentu saja memaksa Ali untuk lebih mandiri. Dia sudah berparuh waktu sebagai loper koran “Masa Kini” dan karyawan warung padang, kesulitan ekonomi tetap melanda. Pada akhirnya, menyebabkan Ali putus kuliah yang sebelumnya berkuliah di STI Dakwah Syuhada.

Ali Fitriadi besar dengan didikan agama yang kuat. Keluarga yang mendidik ilmu agama yang baik, menciptakan ketertarikan pada dunia ilmu agama dan dakwah sepanjang hidupnya. Hampir setengah hidup Ali digunakan untuk mendalami ilmu agama. Ia menanggapi kondisi pendidikan agama pada anak muda sekarang, pada dasarnya dikarenakan didikan dari orang tua yang dinilai kurang menekankan kewajiban beragama. Berawal dengan ilmu agama yang rendah, mendukung anak muda untuk tidak tertarik pada agama. Ia juga menengaskan bahwa teknologi juga membuat agama menjadi bidang yang tidak menarik, dikarenakan teknologi senantiasa berubah setiap waktu.

Tahun 2003 adalah awal pergerakan islam Ali bertambah kuat saat menjadi pengurus Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning, di komplek Gubernur. Sejarah ia pernah bersekolah di STI Dakwah Syuhada membuatnya diterima menjadi pengurus Sulthoni. Menjadi pengurus masjid membuat segala ilmu yang ia dapat pada STI Dakwah Syuhada tidak sia-sia. Ia aktif dalam kegiatan masjid, baik menjadi imam, khotib, hingga mengurusi TPA. Bakat dalam dunia ilmu agama pun tersalurkan. Pada masa kepengurusan, Ali melihat mirisnya masjid Malioboro ketika menekuni pekerjaan sambilannya sebagai pedagang nasi padang di Malioboro. Masjid Malioboro belum difungsikan sewajarnya sebuah masjid, tidak mengumandangkan adzan, dan tidak pada dalam kepengurusan.

Ali pun mengangkat isu tentang masjid Malioboro yang disfungsi pada diskusi rutin kepengurusan masjid Sulthoni. Ali dan kawan-kawan membahas tentang kondisi masjid Malioboro. Jiwa mereka tergerak untuk membantu kepengurusan masjid malioboro dalam mencari khatib, imam, maupun pengurus lainnya. Masjid tersebut memang dalam managemen DPRD. Setelah bertanya-tanya, mereka pun menemui bidang umum DPRD. Ali dan kawan-kawan pun berdialog dan mencari jalan keluar pada masalah masjid malioboro. “Ternyata kesulitannya adalah tidak adanya orang yang standby disini, kami memahami bahwa urusan DPRD itu juga banyak.” ujarnya. Lalu dari DPRD tersebut menawari salah satu dari Ali dan kawan-kawan untuk menjadi penjaga masjid Malioboro. “Akhirnya saya menyetujui” pungkas Ali. Ia pun menjadi Marbot pertama Masjid Malioboro.

Satu tahun sebelumnya, DPRD mengadakan pertemuan untuk membahas masalah malioboro. Mahasiswa dan tokoh masyarakat pun diundang. Masjid Sulthoni mendapat undangan tersebut, dan Ali pun masih menduduki kepengurusan di Masjid Sulthoni. Pada pertemuan tersebut, Ali mengemukakakan gagasan terhadap pembangunan masjid malioboro, agar segera diperbaiki dan diperbesar, karena dibandingkan dengan masyarakat malioboro dan pendatang, tentu masjid tersebut tidak seimbang. Masjid Malioboro masih berupa Musholla, dan hanya dapat menampung puluhan jamaah. Gagasan Ali pun diterima, dan Ali juga menjelaskan bahwa DPRD telah mengkonsepkan tentang pembangunan masjid Malioboro. “Masa kok gedungnya sangat megah sekali (DPRD), tapi didepanya cuma mushola kecil, padahalnya ini kita itu mayoritas muslim” Tegasnya.

Ali menceritakan dengan suaranya yang berat, tentang keindahan kota asalnya, Bengkulu. Orangtuanya adalah petani, ia juga membantu dalam bercocok tanam dan kadang kali melaut. Tanah Subur, ladang yang luas, juga terdapat kebun kopi dan coklat. Namun, ia memilih untuk tetap tinggal di Yogyakarta, ia merasa lebih betah di Yogyakarta. “Mungkin ini sudah jiwa rantau.” tegasnya dengan sedikit tertawa. Ia juga menjelaskan keuntungan orang-orang rantau. “Orang rantau itu tidak malu dan gengsi untuk bekerja dan berusaha, termasuk berjualan masakan padang dan loper koran.” ucap Ali sembari tertawa.

Ali kembali mondar-mandir di masjid Malioboro yang berarsitektur Turki. Entah membersihkan ruangan, maupun menata sepatu. Sepuluh tahun lebih sudah berlalu, termasuk tinggal dalam kamar berukuran 3x3, dengan dapur dan meja makan diluar. Tentu, kemewahannya tidak bisa dibandingkan dengan gedung yang ada di sebelah. Ia tinggal bersama istri dan anak bungsunya. Dengan gaji Rp.500.000, ia menjelaskan bahwa memang pas-pasan. Tidak ada biaya tambahan dari DPRD untuk dia, sang marbot masjid malioboro. Pendapatan murni dari infaq, yang dipotong dan menjadi jumlah 500,000 tersebut. Jika ada tambahan, itupun dari uang kebersihan toilet yang tidak seberapa, juga ongkos menjaga sepatu jamaah. “Kalau kita lihat itu pengurus masjid itu semuanya prihatin.” tuturnya.