Friday, 27 June 2014

Pondok Pesantren Berkacamata UNCRC

Pendidikan adalah penguasaan diri, juga memanusiawikan manusia atau peserta didik kian beradab dan memiliki keadaban. Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Begitulah ucapan Ki Hajar Dewantara, menegaskan tentang esensi pendidikan untuk menciptakan manusia yang beradab, mandiri, dewasa, memiliki self control dan sikap bijaksana. Dalam poin tersebutlah Indonesia menegaskan rakyat indonesia untuk menempuh wajib belajar sembilan tahun. Namun ironis, pendidikan tidak terfasilitasi dengan baik pada tingkat pendidikan umum (SD, SMP, SMA). Semakin bertambahnya jenjang pendidikan, diikuti juga dengan turunnya partisipasi masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 tentang indikator pendidikan, angka partisipasi murni tingkat sekolah dasar memang sudah mencapai 92,42%, namun untuk tingkat sekolah menengah pertama hanya mencapai kisaran 70,81%. Merosotnya angka partisipasi juga tidak dapat dilepaskan dengan melambungnya biaya pendidikan dari jenjang ke jenjang.
***

Diluar semua sistem pemerintahan, berdirilah pondok pesantren, sebuah pendidikan yang berasaskan islam, dan dianggap sebagai pendidikan alternatif oleh masyarakat, baik sejak zaman belanda hingga era sekarang. Pada zaman belanda, pendidikan umum hanya dapat dinikmati segelintir orang, dengan keturunan tertentu. Memang, Pondok Pesantren relatif lebih murah dibandingkan pendidikan umum. Di Yogyakarta, Pondok pesantren biasanya hanya memungut uang pangkal Rp 100.000 ketika mendaftar. Setelah itu, pengasuh pondok pesantren tidak memungut biaya pembelajaran, kecuali uang listrik Rp 10.000 per bulan. Terdapat anekdot yang menceritakan seorang santri Nusa Tenggara Timur yang memilih untuk tidak pulang kampung, dikarenakan perjalanan ke NTT mengeluarkan biaya yang jumlahnya sama dengan hidup dalam pondok selama satu tahun. Walaupun dipandang sebagai pendidikan alternatif, kualitas pesantren tidak kalah dengan pendidikan umum. Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang dapat dikatakan khas Indonesia dan membanggakan Islam. Konsentrasi dan kepeloporannya dalam mempertahankan dan melestarikan ajaran-ajaran islam ala Sunni (Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah) serta mengembangkan kajian-kajian keagamaan melalui khazanah berbagai Kitab Kuning (al-kutub al-qadimah).4 Pesantren juga menyiapkan anak-anak dan generasi muda untuk menjadi penerus estafet tegaknya masyarakat muslim. Setelah dewasa, para santri diharapkan mampu mengambil peran sosial secara baik dalam satu tatanan masyarakat muslim yang bahagia di dunia dan selamat di akhirat.

***

Pada tanggal 12 Oktober 2002, terjadi peristiwa Bom Bali I yang menewaskan 200 orang, baik lokal maupun mancanegara. Setelah ditelisik, pelakunya adalah Trio Bersaudara, pengurus dari Pondok Pesantren Al-Islam. Terdapat tiga Pondok Pesantren yang dikaitkan pada tregedi Bom Bali I, yaitu Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem, Pondok Pesantren Ngruki, dan Pondok Pesantren Al-Islam. Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem dikaitkan dengan Bom Bali I karena merupakan tempat belajar sebagian besar pengasuh pondok pesantren Al-Islam, seperti Ust. Khozin (kakak Amrozi), Ali Imron, Ali Gufron, dan Ja'far Siddiq. Juga Pondok Pesantren Ngruki, yang memang kerap dikaitkan dengan radikalisme sejak pertengahan Orde Baru, sudah dianggap sebagai pesantren yang memiliki pandangan-pandangan radikal.

Pondok Pesantren Al-Islam merupakan tempat dimana Trio Bersaudara tinggal, dan nama Pondok Pesantren Al-Islam pun sudah bercitra buruk pada masyarakat sekitar, dikarenakan pengurus pondok ini kerap merusak atau menghancurkan tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, seperti merusak makam sesepuh desa (danyang), yang biasa digunakan masyarakat setempat jika mengadakan syukuran karena dapat rejeki, panen berhasil, sembuh dari sakit, dan sebagainya. Dampak Bom Bali tidak hanya citra buruk Indonesia di mata asing, namun juga tercorengnya Islam dan Pondok Pesantren. Terciptalah asumsi publik yang menganggap banyak aliran ekstrim dan radikal telah diajarkan dalam Pondok Pesantren, terutama dengan sorotan media yang begitu tajam, menghantarkan pada pencorengan nama pesantren se-Indonesia, baik yang berhubungan dengan pelaku Bom Bali, maupun tidak.

***

Maka didasari kasus diatas, untuk menghindari hal-hal yang serupa, dibutuhkan tindakan dari negara untuk melakukan upaya konstruktif sekaligus preventif pada pondok pesantren. Walaupun menurut KH Abdurahman Wahid, pondok pesantren adalah pola kepemimpinan pondok yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, 8 Namun realitanya, jika tetap dibiarkan, tidak menutup kemungkinan beberapa pondok pesantren tetap mengajarkan tentang radikalisme dan ekstrimisme, baik secara langsung maupun tidak langsung.

UNESCO dengan Konvensi Hak-Hak Anak (UNCRC), merancang hak anak dan pendidikan yang harus ditempuh demi kemajuan anak. Konvensi ini menjaga hak-hak anak yang dibawah 18 tahun, yang belum dapat mengurusi haknya sendiri, termasuk haknya dalam pendidikan yang bermutu. UNCRC telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 September 1990, yang berarti Indonesia terikat dengan konvensi tersebut. UNCRC membahas secara spesifik tentang hak anak dalam memperoleh pendidikan yang layak dalam Pasal 29 Ayat 19, dan kewajiban negara untuk mengarahkan pendidikannya ke arah tersebut. Sehingga, negara wajib mengoptimalisasi kualitas pesantren sebagai instansi pendidikan dengan poros UNCRC tersebut. Saat pada realitanya masih ada kondisi dimana beberapa pondok pesantren mengajarkan hal yang bertentangan dengan UNRC, semisal mengajarkan permusuhan antar bangsa dan agama, maka negara bertanggungjawab pada hal tersebut.
***

Terdapat tiga fokus penerapan Pasal 29 Ayat 1 UNCRC, yang pertama, pengembangan poros pendidikan, terutama untuk pesantren, yang hingga saat ini sistem pemerintah belum dapat mengakomodir keberadaan pesantren10. Kedua, penanggulangan ajaran-ajaran yang menanamkan permusuhan antar umat beragama lain yang mungkin ditanamkan pada beberapa pondok pesantren. Ketiga, membuat sinergi yang harmonis antara pendidikan, Islam, dan dunia global. Tentu, pengembangan poros pendidikan merupakan hal yang baru, dikarenakan seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sistem pendidikan pemerintah yang ada sekarang belum bisa mengakomodasi keberadaan pesantren, sehingga pesantren terkesan termajinalkan dan tersisih. Maka pemerintah harus beradaptasi dengan pesantren, dan menciptakan pengawasan dalam bentuk silabus, tanpa menghilangkan kepesantrenannya, adat, nilai keislaman, dan norma-norma yang ada. Pada penanggulangan ajaran-ajaran yang menanamkan permusuhan, dapat dimulai dengan penanaman sifat pluralisme dan tenggangrasa antar umat manusia. Pada hakekatnya, Islam mengajarkan pluralisme dan tenggangrasa antar individu dan tidak memaksa hak orang lain dalam beragama. Poin tersebut dapat dilihat dalam Piagam Madinah, yang menyamaratakan umat agama, satu dengan lain. Begitu juga UNCRC, pada poin (d), mewajibkan pendidikan untuk menerapkan kehidupan yang harmonis dan tenggangrasa pada masyarakat, walaupun berbeda jenis kelamin, etnis, bangsa, agama, maupun suku. Maka dari itu, penanaman jiwa pluralisme dan tenggangrasa merupakan kewajiban instansi pendidikan manapun, termasuk pesantren.

Penggiatan kembali Pondok Pesantren dengan kualitasnya, dan memahami pendidikan sebagai hal yang vital dalam kehidupan anak, adalah langkah awal mengenal sinergi antara pendidikan, Islam, dan Global. Pondok Pesantren merupakan simbol Islam pada Indonesia yang konkrit. Negara, merupakan wakil dari penegakan pendidikan bagi instansi pendidikan, juga Negara wajib menegakkan konvensi UNCRC pada Pondok Pesantren, sebagai simbol dari dunia global. Tidak hanya sinergi, namun juga harmonisasi, yang berarti tanpa mengganggu adat dan moral satu sama lain. Namun yang perlu disadari adalah peran pemerintah, yang harus mengerti esensi dan urgensi pendidikan bagi seorang anak. Dengan kondisi pemerintah yang sadar akan pendidikan, sesungguhnya semua instansi pendidikan, termsuk pondok pesantren, akan mencapai peningkatan optimal kualitas instansi pendidikan, yang berdampak pada peningkatan mutu anak bangsa. Dengan penerapan UNCRC tersebut, Pendidikan dan pondok pesantren akan kembali pada masa kejayaan, membuat santri sebagai agent of change, secara regional dan internasional, dengan asas Islam yang telah dia bawa semenjak dari pondok pesantren. Dengan rintangan berat yang menghadang Indonesia, bukan berarti peningkatan mutu pendidikan adalah hal yang berat. Mengutip dari kata-kata Pramoedya Ananta Toer: "Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”
Indonesia harus berani membuat kenyataan baru, kenyataan bahwa pendidikan dan pondok pesantren akan kembali jaya, sebagai pabrik-pabrik yang menciptakan anak bangsa yang bermutu, dan berasaskan Islam. **