“Aku berjanji tidak akan menduduki kursi kerajaan yang diwariskan
padaku. Tidak akan kawin dan akan menjalani kesucian sepanjang hidupku,
agar aku tak mempunyai anak cucu yang akan berebut kekuasaan dengan anak
cucumu, wahai Satyawati,” ucap Dewabrata kepada Satyawati dan ayah
Satyawati, dipinggir sungai Yamuna. Diantara desiran air, sumpah suci
telah diucapkan dan seketika berguguranlah kembang-kembang yang beraroma
wangi nan suci menaburi kepala Dewabrata, sementara angkasa raya
bergema merdu: “Bhisma… Bhisma… Bhisma….” Semenjak itulah Dewabrata
berganti panggilan menjadi Bhisma.
Bhisma, bahasa sanskerta yang berarti ‘dia yang sumpahnya dasyat’.
Bhisma memilih untuk tidak mengingkari mulutnya, mengkhianati
pikirannya, dan selalu memenuhi sumpahnya. Bahkan, dalam hal
mempertaruhkan nyawanya. Diperang Bharatayudha Bhisma telah mengetahui
bahwa tiada kecuali Pandhawa-lah yang akan menang. Namun setelah
mengerti pemenang perang, Bhisma tidak lantas memilih kubu Pandhawa. Dia
telah berjanji untuk mengabdi pada Dritarastra ayah dari kurawa, yang
juga berarti berperang di pihak Kurawa. Biarlah nyawa hilang, asal janji
tetap dipegang.
Begitu pula Brienne Tarth, seorang wanita yang mengucapkan janji sehidup semati untuk menemukan anak Catelyn Stark pada buku “A Song of Ice and Fire”, karya
George R.R. Martin. Untuk memenuhinya, perjalanan panjang dan
pertumpahan darah dengan puluhan prajurit dari clan lain, maupun bandit
dia hadapi. Bersama pedangnya “oathkeeper” yang artinya penjaga sumpah.
Tidak terduga, sebelum sumpahnya terpenuhi, Catelyn terbunuh terlebih
dahulu oleh kerajaan lawan. Kematiannya tidak berarti sumpah mereka
batal dan dia kukuh tetap memegang sumpahnya. “I will find her, my
lady. I will never stop looking. I will give up my life if need be, give
up my honour, give up all my dreams, but I will find her”, ucapnya pada Catelyn.
Hadirlah tahun 2014, saat penentuan dimana pemimpin dipilih, atau
dapat disebut ‘ajang janji-janji’ calon pemimpin. Tentu, dunia ini bukan
dunia fiksi ala Mahabharata ataupun A Song of Ice and Fire,
sehingga janji yang tidak sepenuhnya dipenuhi adalah hal yang maklum.
Mereka yang terpilih akan bekerja sebagai pemimpin-pemimpin yang
seharusnya amanat dan bisa dipercaya. Tidak hanya presiden, namun juga
wakil rakyat, wakil daerah, rektor, dekan, wakil mahasiswa, dan mereka
semua yang diberi amanat. Janji dan sumpah telah terucap, baik janji
mereka untuk memimpin dan berbuat hal bijaksana, juga sumpah mereka pada
peraturan, sertasaat mengemban jabatan.
Padahal janji yang tidak dipenuhi dan terlanjur diucapkan kepada
masyarakat, dapat mengubah mental dan paradigma masyarakat sendiri.
Semakin banyaknya janji yang diucapkan di masa lalu tidak dipenuhi, maka
batas kepercayaan masyarakat di masa kini akan semakin menurun.
Ujung-ujungnya, masyarakat akan mengabaikan janji dari seorang calon
pemimpin dan lebih memilih mereka yang banyak bekerja, serta sedikit
janji. Trauma, untuk memilih mereka yang bermodal mulut dan jargon
menarik, yang tidak dapat dibuktikan. Pada akhirnya, semua janji-janji
akan ‘mental’, bahkan sebelum sempat dibuktikan. Jangan salahkan mereka
yang ada di masa lalu, walaupun mereka memang salah.
Frederika Korain, mengungkapkan kekecewaannya pada presiden terakhir
Indonesia yang tidak menepati janjinya untuk “membangun Papua dengan
hati” serta menghormati “hak-hak asasi manusia dan budaya Papua” (Koran
Tempo, Rubrik Pendapat, 10/4/14). Namun tidak ada perubahan yang berarti
dari 1963 hingga kekuasaan presiden tersebut berakhir. Papua tetap
begitu-begitu saja. Kekerasan dilakukan oleh pemegang jabatan
pemerintahan, baik tentara, polisi, maupun sipir penjara. Hak Kebebasan
dari Penyiksaan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
jelas-jelas telah dilanggar. Pelanggaran HAM terjadi.
Mungkin Gajah Mada harus dihidupkan kembali, untuk memberi kuliah 4
sks untuk mereka semua, sebagai calon pemimpin. Tujuh abad telah berlalu
sejak dikumandangkannya sumpah palapa, sumpah untuk menyatukan
nusantara, dan tidak akan menikmati hal menyenangkan sebelum sumpah
terpenuhi. Dia mengucapkan sumpah itu di hadapan penguasa dan para
pembesar Majapahit dalam balairung kedaton, yang dianggap sebagai
pernyataan politik. Sumpahnya masih bergaung hingga saat iniyang
seharusnya menjadi ilham para calon pemimpin sebelum mengucapkan sumpah.
Saat kita melihat di media massa, bahkan banyak ‘orang besar’ yang
tidak konsisten dengan ucapannya. Seorang reformis, justru berkoalisi
dengan mereka yang memiliki latar belakang orde baru. Seorang negarawan,
tidak konsisten dengan ucapannya untuk melihat semua calon presiden
dari latar belakang, namun justru memihak mereka yang notabene tidak
baik di masa lalu. Konsistensi dan pemenuhan janji harus ditegakkan.
Ada satu pertanyaan besar yang layak untuk dipertanyakan. Apakah
mereka berfikir jangka panjang sebelum bersumpah? Ironi terjadi saat
sumpah dan janji hanya mereka anggap sebagai wacana biasa, bukan lagi
menjadi hal yang sakral. Dibandingkan dengan para pendahulu, jelas
mereka sebelum bersumpah dan berjanji harus melalui gejolak pemikiran
yang berat, termasuk kemungkinan yang ada saat mereka tidak dapat
memenuhi janji-janji mereka.
Semoga saja hal tersebut juga terjadi pada para calon pemimpin saat
ini. Mereka harus berfikir dua kali, bahkan lima kali sebelum
mengucapkan janji. Menurut KBBI, janji adalah ucapan yang menyatakan
kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pada dasarnya, janji harus
disanggupi, dan yang diucapkan haruslah hal yang realistis, dikarenakan
unsur kesanggupan tersebut. Bukan muluk-muluk berjanji, bagaikan memetik
bintang. Kalau memang sudah terlanjur diucapkan, solusinya hanya satu,
yaitu dipenuhi dan dibuktikan. Bagaimanapun caranya, termasuk bertaruh
dengan malaikat pencabut nyawa, seperti Bhisma dan Brienne.
*Dimuat pada http://www.lpmkeadilan.com/ tanggal 5 juli 2014.
Saturday, 5 July 2014
Friday, 27 June 2014
Pondok Pesantren Berkacamata UNCRC
Pendidikan adalah penguasaan diri, juga memanusiawikan manusia atau peserta didik kian beradab dan memiliki keadaban. Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Begitulah ucapan Ki Hajar Dewantara, menegaskan tentang esensi pendidikan untuk menciptakan manusia yang beradab, mandiri, dewasa, memiliki self control dan sikap bijaksana. Dalam poin tersebutlah Indonesia menegaskan rakyat indonesia untuk menempuh wajib belajar sembilan tahun. Namun ironis, pendidikan tidak terfasilitasi dengan baik pada tingkat pendidikan umum (SD, SMP, SMA). Semakin bertambahnya jenjang pendidikan, diikuti juga dengan turunnya partisipasi masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 tentang indikator pendidikan, angka partisipasi murni tingkat sekolah dasar memang sudah mencapai 92,42%, namun untuk tingkat sekolah menengah pertama hanya mencapai kisaran 70,81%. Merosotnya angka partisipasi juga tidak dapat dilepaskan dengan melambungnya biaya pendidikan dari jenjang ke jenjang.
Begitulah ucapan Ki Hajar Dewantara, menegaskan tentang esensi pendidikan untuk menciptakan manusia yang beradab, mandiri, dewasa, memiliki self control dan sikap bijaksana. Dalam poin tersebutlah Indonesia menegaskan rakyat indonesia untuk menempuh wajib belajar sembilan tahun. Namun ironis, pendidikan tidak terfasilitasi dengan baik pada tingkat pendidikan umum (SD, SMP, SMA). Semakin bertambahnya jenjang pendidikan, diikuti juga dengan turunnya partisipasi masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 tentang indikator pendidikan, angka partisipasi murni tingkat sekolah dasar memang sudah mencapai 92,42%, namun untuk tingkat sekolah menengah pertama hanya mencapai kisaran 70,81%. Merosotnya angka partisipasi juga tidak dapat dilepaskan dengan melambungnya biaya pendidikan dari jenjang ke jenjang.
***
Diluar semua sistem pemerintahan, berdirilah pondok pesantren, sebuah pendidikan yang berasaskan islam, dan dianggap sebagai pendidikan alternatif oleh masyarakat, baik sejak zaman belanda hingga era sekarang. Pada zaman belanda, pendidikan umum hanya dapat dinikmati segelintir orang, dengan keturunan tertentu. Memang, Pondok Pesantren relatif lebih murah dibandingkan pendidikan umum. Di Yogyakarta, Pondok pesantren biasanya hanya memungut uang pangkal Rp 100.000 ketika mendaftar. Setelah itu, pengasuh pondok pesantren tidak memungut biaya pembelajaran, kecuali uang listrik Rp 10.000 per bulan. Terdapat anekdot yang menceritakan seorang santri Nusa Tenggara Timur yang memilih untuk tidak pulang kampung, dikarenakan perjalanan ke NTT mengeluarkan biaya yang jumlahnya sama dengan hidup dalam pondok selama satu tahun. Walaupun dipandang sebagai pendidikan alternatif, kualitas pesantren tidak kalah dengan pendidikan umum. Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang dapat dikatakan khas Indonesia dan membanggakan Islam. Konsentrasi dan kepeloporannya dalam mempertahankan dan melestarikan ajaran-ajaran islam ala Sunni (Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah) serta mengembangkan kajian-kajian keagamaan melalui khazanah berbagai Kitab Kuning (al-kutub al-qadimah).4 Pesantren juga menyiapkan anak-anak dan generasi muda untuk menjadi penerus estafet tegaknya masyarakat muslim. Setelah dewasa, para santri diharapkan mampu mengambil peran sosial secara baik dalam satu tatanan masyarakat muslim yang bahagia di dunia dan selamat di akhirat.
***
Pada tanggal 12 Oktober 2002, terjadi peristiwa Bom Bali I yang menewaskan 200 orang, baik lokal maupun mancanegara. Setelah ditelisik, pelakunya adalah Trio Bersaudara, pengurus dari Pondok Pesantren Al-Islam. Terdapat tiga Pondok Pesantren yang dikaitkan pada tregedi Bom Bali I, yaitu Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem, Pondok Pesantren Ngruki, dan Pondok Pesantren Al-Islam. Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem dikaitkan dengan Bom Bali I karena merupakan tempat belajar sebagian besar pengasuh pondok pesantren Al-Islam, seperti Ust. Khozin (kakak Amrozi), Ali Imron, Ali Gufron, dan Ja'far Siddiq. Juga Pondok Pesantren Ngruki, yang memang kerap dikaitkan dengan radikalisme sejak pertengahan Orde Baru, sudah dianggap sebagai pesantren yang memiliki pandangan-pandangan radikal.
Pondok Pesantren Al-Islam merupakan tempat dimana Trio Bersaudara tinggal, dan nama Pondok Pesantren Al-Islam pun sudah bercitra buruk pada masyarakat sekitar, dikarenakan pengurus pondok ini kerap merusak atau menghancurkan tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, seperti merusak makam sesepuh desa (danyang), yang biasa digunakan masyarakat setempat jika mengadakan syukuran karena dapat rejeki, panen berhasil, sembuh dari sakit, dan sebagainya. Dampak Bom Bali tidak hanya citra buruk Indonesia di mata asing, namun juga tercorengnya Islam dan Pondok Pesantren. Terciptalah asumsi publik yang menganggap banyak aliran ekstrim dan radikal telah diajarkan dalam Pondok Pesantren, terutama dengan sorotan media yang begitu tajam, menghantarkan pada pencorengan nama pesantren se-Indonesia, baik yang berhubungan dengan pelaku Bom Bali, maupun tidak.
***
Maka didasari kasus diatas, untuk menghindari hal-hal yang serupa, dibutuhkan tindakan dari negara untuk melakukan upaya konstruktif sekaligus preventif pada pondok pesantren. Walaupun menurut KH Abdurahman Wahid, pondok pesantren adalah pola kepemimpinan pondok yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, 8 Namun realitanya, jika tetap dibiarkan, tidak menutup kemungkinan beberapa pondok pesantren tetap mengajarkan tentang radikalisme dan ekstrimisme, baik secara langsung maupun tidak langsung.
UNESCO dengan Konvensi Hak-Hak Anak (UNCRC), merancang hak anak dan pendidikan yang harus ditempuh demi kemajuan anak. Konvensi ini menjaga hak-hak anak yang dibawah 18 tahun, yang belum dapat mengurusi haknya sendiri, termasuk haknya dalam pendidikan yang bermutu. UNCRC telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 September 1990, yang berarti Indonesia terikat dengan konvensi tersebut. UNCRC membahas secara spesifik tentang hak anak dalam memperoleh pendidikan yang layak dalam Pasal 29 Ayat 19, dan kewajiban negara untuk mengarahkan pendidikannya ke arah tersebut. Sehingga, negara wajib mengoptimalisasi kualitas pesantren sebagai instansi pendidikan dengan poros UNCRC tersebut. Saat pada realitanya masih ada kondisi dimana beberapa pondok pesantren mengajarkan hal yang bertentangan dengan UNRC, semisal mengajarkan permusuhan antar bangsa dan agama, maka negara bertanggungjawab pada hal tersebut.
***
Terdapat tiga fokus penerapan Pasal 29 Ayat 1 UNCRC, yang pertama, pengembangan poros pendidikan, terutama untuk pesantren, yang hingga saat ini sistem pemerintah belum dapat mengakomodir keberadaan pesantren10. Kedua, penanggulangan ajaran-ajaran yang menanamkan permusuhan antar umat beragama lain yang mungkin ditanamkan pada beberapa pondok pesantren. Ketiga, membuat sinergi yang harmonis antara pendidikan, Islam, dan dunia global. Tentu, pengembangan poros pendidikan merupakan hal yang baru, dikarenakan seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sistem pendidikan pemerintah yang ada sekarang belum bisa mengakomodasi keberadaan pesantren, sehingga pesantren terkesan termajinalkan dan tersisih. Maka pemerintah harus beradaptasi dengan pesantren, dan menciptakan pengawasan dalam bentuk silabus, tanpa menghilangkan kepesantrenannya, adat, nilai keislaman, dan norma-norma yang ada. Pada penanggulangan ajaran-ajaran yang menanamkan permusuhan, dapat dimulai dengan penanaman sifat pluralisme dan tenggangrasa antar umat manusia. Pada hakekatnya, Islam mengajarkan pluralisme dan tenggangrasa antar individu dan tidak memaksa hak orang lain dalam beragama. Poin tersebut dapat dilihat dalam Piagam Madinah, yang menyamaratakan umat agama, satu dengan lain. Begitu juga UNCRC, pada poin (d), mewajibkan pendidikan untuk menerapkan kehidupan yang harmonis dan tenggangrasa pada masyarakat, walaupun berbeda jenis kelamin, etnis, bangsa, agama, maupun suku. Maka dari itu, penanaman jiwa pluralisme dan tenggangrasa merupakan kewajiban instansi pendidikan manapun, termasuk pesantren.
Penggiatan kembali Pondok Pesantren dengan kualitasnya, dan memahami pendidikan sebagai hal yang vital dalam kehidupan anak, adalah langkah awal mengenal sinergi antara pendidikan, Islam, dan Global. Pondok Pesantren merupakan simbol Islam pada Indonesia yang konkrit. Negara, merupakan wakil dari penegakan pendidikan bagi instansi pendidikan, juga Negara wajib menegakkan konvensi UNCRC pada Pondok Pesantren, sebagai simbol dari dunia global. Tidak hanya sinergi, namun juga harmonisasi, yang berarti tanpa mengganggu adat dan moral satu sama lain. Namun yang perlu disadari adalah peran pemerintah, yang harus mengerti esensi dan urgensi pendidikan bagi seorang anak. Dengan kondisi pemerintah yang sadar akan pendidikan, sesungguhnya semua instansi pendidikan, termsuk pondok pesantren, akan mencapai peningkatan optimal kualitas instansi pendidikan, yang berdampak pada peningkatan mutu anak bangsa. Dengan penerapan UNCRC tersebut, Pendidikan dan pondok pesantren akan kembali pada masa kejayaan, membuat santri sebagai agent of change, secara regional dan internasional, dengan asas Islam yang telah dia bawa semenjak dari pondok pesantren. Dengan rintangan berat yang menghadang Indonesia, bukan berarti peningkatan mutu pendidikan adalah hal yang berat. Mengutip dari kata-kata Pramoedya Ananta Toer: "Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”
Indonesia harus berani membuat kenyataan baru, kenyataan bahwa pendidikan dan pondok pesantren akan kembali jaya, sebagai pabrik-pabrik yang menciptakan anak bangsa yang bermutu, dan berasaskan Islam. **
Friday, 16 May 2014
Pahlawan Bersarung Dalam Gedung Doa
Peci
dan Sarung, siapa duga orang ini adalah mantan asisten dokter? Ali
bercerita sambil mengenang masa awal rantauan. Jiwa rantau semangat
rantau.
Adzan
subuh belum menggema pada dini hari, sepi masih menaungi gelapnya
Malioboro. Neon-neon lampu yang menyala sudah dimatikan, pedagang
kaki lima pun sudah tidak terlihat. Beberapa orang terlihat berlalu
lalang menawarkan hotel daerah Sastrowijayan. Sesosok bapak berambut
keriting tipis muncul, menggeser gerbang masjid. Wajahnya sangar,
berkumis tebal, dengan noda hitam pada jidatnya. Dengan bunyi gesekan
yang kasar, memecahkan sunyi di kawasan malioboro. Dialah marbot
masjid Malioboro di komplek DPRD DIY, Muhammad Ali Fitriadi, yang
tidak asing bagi masyarakat sekitar. Ia dikenal sebagai orang
rantauan dari Bengkulu.
Masjid
Malioboro tepat bersebelahan dengan gedung DPRD DIY, tidak terlalu
besar untuk sebuah masjid ditengah kota Malioboro, namun nyaman untuk
disinggahi. Nyanyi-nyanyian rohani mulai berseru melalui speaker
masjid, menandakan subuh akan segera datang. Masyarakat mulai mengisi
ruang shalat, dibawah kubah Malioboro yang serupa bawang. Beberapa
orang terlihat menginap di masjid tersebut. Menjelang adzan subuh,
Ali tidak dapat bertenang-tenang. Sebagai Marbot masjid ia harus
cepat dalam menyiapkan beberapa hal untuk keperluan shalat baik mic
hingga speaker. Apalagi, hari ini adalah hari sabtu, pengajian rutin
akan diadakan paska shalat subuh berjamaah. Sehingga, dia juga harus
menyiapkan LCD dan proyektor. Seorang pembicara diundang untuk
mengisi materi rutin. “Untung kemarin tidak telat ya? Coba telat
sedikit mungkin minggu lalu akan batal.” ucap seorang pria pengisi
pengajian kepada Ali. Minggu lalu acara pengajian rutin memang nyaris
dibatalkan dikarenakan terkendala waktu. Ali, layaknya marbot pada
umumnya, ia mengurusi masjid dari kebersihan hingga keamanan.
Beberapa kasus pencurian memang terkadang terjadi, seperti
masjid-masjid lain. Pada awal pembangunan Masjid Malioboro, beberapa
Kuningan penghias pilar dicuri oleh orang tidak dikenal. Ali tidak
bekerja sendiri, ia ditemani marbot lain yang terkadang membantu
kepengurusan masjid, namun tidak tinggal di masjid Malioboro.
Pada
tahun 1986, Seorang Dokter mengajak Ali untuk merantau ke Yogyakarta.
Sebelumnya pria berputra tiga ini tidak lain adalah seorang asisten
dokter saat masih berada di Bengkulu, dan Ali pun masih bersekolah di
SD. Dokter tersebutlah yang membiayai Ali dalam memperoleh
pendidikan. Namun, mereka berpisah ketika ia SMP karena Ali memilih
untuk tinggal di Yogyakarta. Sedangkan dokter tersebut pindah ke
Pati. Sepeninggal dokter tersebut tentu saja memaksa Ali untuk lebih
mandiri. Dia sudah berparuh waktu sebagai loper koran “Masa Kini”
dan karyawan warung padang, kesulitan ekonomi tetap melanda. Pada
akhirnya, menyebabkan Ali putus kuliah yang sebelumnya berkuliah di
STI Dakwah Syuhada.
Ali
Fitriadi besar dengan didikan agama yang kuat. Keluarga yang mendidik
ilmu agama yang baik, menciptakan ketertarikan pada dunia ilmu agama
dan dakwah sepanjang hidupnya. Hampir setengah hidup Ali digunakan
untuk mendalami ilmu agama. Ia menanggapi kondisi pendidikan agama
pada anak muda sekarang, pada dasarnya dikarenakan didikan dari orang
tua yang dinilai kurang menekankan kewajiban beragama. Berawal dengan
ilmu agama yang rendah, mendukung anak muda untuk tidak tertarik pada
agama. Ia juga menengaskan bahwa teknologi juga membuat agama menjadi
bidang yang tidak menarik, dikarenakan teknologi senantiasa berubah
setiap waktu.
Tahun
2003 adalah awal pergerakan islam Ali bertambah kuat saat menjadi
pengurus Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning,
di komplek Gubernur. Sejarah ia pernah bersekolah di STI Dakwah
Syuhada membuatnya diterima menjadi pengurus Sulthoni. Menjadi
pengurus masjid membuat segala ilmu yang ia dapat pada STI Dakwah
Syuhada tidak sia-sia. Ia aktif dalam kegiatan masjid, baik menjadi
imam, khotib, hingga mengurusi TPA. Bakat dalam dunia ilmu agama pun
tersalurkan. Pada masa kepengurusan, Ali melihat mirisnya masjid
Malioboro ketika menekuni pekerjaan sambilannya sebagai pedagang nasi
padang di Malioboro. Masjid Malioboro belum difungsikan sewajarnya
sebuah masjid, tidak mengumandangkan adzan, dan tidak pada dalam
kepengurusan.
Ali
pun mengangkat isu tentang masjid Malioboro yang disfungsi pada
diskusi rutin kepengurusan masjid Sulthoni. Ali dan kawan-kawan
membahas tentang kondisi masjid Malioboro. Jiwa mereka tergerak untuk
membantu kepengurusan masjid malioboro dalam mencari khatib, imam,
maupun pengurus lainnya. Masjid tersebut memang dalam managemen DPRD.
Setelah bertanya-tanya, mereka pun menemui bidang umum DPRD. Ali dan
kawan-kawan pun berdialog dan mencari jalan keluar pada masalah
masjid malioboro. “Ternyata kesulitannya adalah tidak adanya orang
yang standby
disini, kami memahami bahwa urusan DPRD itu juga banyak.” ujarnya.
Lalu dari DPRD tersebut menawari salah satu dari Ali dan kawan-kawan
untuk menjadi penjaga masjid Malioboro. “Akhirnya saya menyetujui”
pungkas Ali. Ia pun menjadi Marbot pertama Masjid Malioboro.
Satu
tahun sebelumnya, DPRD mengadakan pertemuan untuk membahas masalah
malioboro. Mahasiswa dan tokoh masyarakat pun diundang. Masjid
Sulthoni mendapat undangan tersebut, dan Ali pun masih menduduki
kepengurusan di Masjid Sulthoni. Pada pertemuan tersebut, Ali
mengemukakakan gagasan terhadap pembangunan masjid malioboro, agar
segera diperbaiki dan diperbesar, karena dibandingkan dengan
masyarakat malioboro dan pendatang, tentu masjid tersebut tidak
seimbang. Masjid Malioboro masih berupa Musholla, dan hanya dapat
menampung puluhan jamaah. Gagasan Ali pun diterima, dan Ali juga
menjelaskan bahwa DPRD telah mengkonsepkan tentang pembangunan masjid
Malioboro. “Masa kok gedungnya sangat megah sekali (DPRD), tapi
didepanya cuma mushola kecil, padahalnya ini kita itu mayoritas
muslim” Tegasnya.
Ali
menceritakan dengan suaranya yang berat, tentang keindahan kota
asalnya, Bengkulu. Orangtuanya adalah petani, ia juga membantu dalam
bercocok tanam dan kadang kali melaut. Tanah Subur, ladang yang luas,
juga terdapat kebun kopi dan coklat. Namun, ia memilih untuk tetap
tinggal di Yogyakarta, ia merasa lebih betah di Yogyakarta. “Mungkin
ini sudah jiwa rantau.” tegasnya dengan sedikit tertawa. Ia juga
menjelaskan keuntungan orang-orang rantau. “Orang rantau itu tidak
malu dan gengsi untuk bekerja dan berusaha, termasuk berjualan
masakan padang dan loper koran.” ucap Ali sembari tertawa.
Ali
kembali mondar-mandir di masjid Malioboro yang berarsitektur Turki.
Entah membersihkan ruangan, maupun menata sepatu. Sepuluh tahun lebih
sudah berlalu, termasuk tinggal dalam kamar berukuran 3x3, dengan
dapur dan meja makan diluar. Tentu, kemewahannya tidak bisa
dibandingkan dengan gedung yang ada di sebelah. Ia tinggal bersama
istri dan anak bungsunya. Dengan gaji Rp.500.000, ia menjelaskan
bahwa memang pas-pasan. Tidak ada biaya tambahan dari DPRD untuk dia,
sang marbot masjid malioboro. Pendapatan murni dari infaq, yang
dipotong dan menjadi jumlah 500,000 tersebut. Jika ada tambahan,
itupun dari uang kebersihan toilet yang tidak seberapa, juga ongkos
menjaga sepatu jamaah. “Kalau kita lihat itu pengurus masjid itu
semuanya prihatin.” tuturnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)