Saturday, 5 July 2014

Janji Kembang Kempis Calon Pemimpin

“Aku berjanji tidak akan menduduki kursi kerajaan yang diwariskan padaku. Tidak akan kawin dan akan menjalani kesucian sepanjang hidupku, agar aku tak mempunyai anak cucu yang akan berebut kekuasaan dengan anak cucumu, wahai Satyawati,” ucap Dewabrata kepada Satyawati dan ayah Satyawati, dipinggir sungai Yamuna. Diantara desiran air, sumpah suci telah diucapkan dan seketika berguguranlah kembang-kembang yang beraroma wangi nan suci menaburi kepala Dewabrata, sementara angkasa raya bergema merdu: “Bhisma… Bhisma… Bhisma….” Semenjak itulah Dewabrata berganti panggilan menjadi Bhisma.

Bhisma, bahasa sanskerta yang berarti ‘dia yang sumpahnya dasyat’. Bhisma memilih untuk tidak mengingkari mulutnya, mengkhianati pikirannya, dan selalu memenuhi sumpahnya. Bahkan, dalam hal mempertaruhkan nyawanya. Diperang Bharatayudha Bhisma telah mengetahui bahwa tiada kecuali Pandhawa-lah yang akan menang. Namun setelah mengerti pemenang perang, Bhisma tidak lantas memilih kubu Pandhawa. Dia telah berjanji untuk mengabdi pada Dritarastra ayah dari kurawa, yang juga berarti berperang di pihak Kurawa. Biarlah nyawa hilang, asal janji tetap dipegang.

Begitu pula Brienne Tarth, seorang wanita yang mengucapkan janji sehidup semati untuk menemukan anak Catelyn Stark pada buku “A Song of Ice and Fire, karya George R.R. Martin. Untuk memenuhinya, perjalanan panjang dan pertumpahan darah dengan puluhan prajurit dari clan lain, maupun bandit dia hadapi. Bersama pedangnya “oathkeeper” yang artinya penjaga sumpah. Tidak terduga, sebelum sumpahnya terpenuhi, Catelyn terbunuh terlebih dahulu oleh kerajaan lawan. Kematiannya tidak berarti sumpah mereka batal dan dia kukuh tetap memegang sumpahnya. “I will find her, my lady. I will never stop looking. I will give up my life if need be, give up my honour, give up all my dreams, but I will find her”, ucapnya pada Catelyn.

Hadirlah tahun 2014, saat penentuan dimana pemimpin dipilih, atau dapat disebut ‘ajang janji-janji’ calon pemimpin. Tentu, dunia ini bukan dunia fiksi ala Mahabharata ataupun A Song of Ice and Fire, sehingga janji yang tidak sepenuhnya dipenuhi adalah hal yang maklum. Mereka yang terpilih akan bekerja sebagai pemimpin-pemimpin yang seharusnya amanat dan bisa dipercaya. Tidak hanya presiden, namun juga wakil rakyat, wakil daerah, rektor, dekan, wakil mahasiswa, dan mereka semua yang diberi amanat. Janji dan sumpah telah terucap, baik janji mereka untuk memimpin dan berbuat hal bijaksana, juga sumpah mereka pada peraturan, sertasaat mengemban jabatan.

Padahal janji yang tidak dipenuhi dan terlanjur diucapkan kepada masyarakat, dapat mengubah mental dan paradigma masyarakat sendiri. Semakin banyaknya janji yang diucapkan di masa lalu tidak dipenuhi, maka batas kepercayaan masyarakat di masa kini akan semakin menurun. Ujung-ujungnya, masyarakat akan mengabaikan janji dari seorang calon pemimpin dan lebih memilih mereka yang banyak bekerja, serta sedikit janji. Trauma, untuk memilih mereka yang bermodal mulut dan jargon menarik, yang tidak dapat dibuktikan. Pada akhirnya, semua janji-janji akan ‘mental’, bahkan sebelum sempat dibuktikan. Jangan salahkan mereka yang ada di masa lalu, walaupun mereka memang salah.

Frederika Korain, mengungkapkan kekecewaannya pada presiden terakhir Indonesia yang tidak menepati janjinya untuk “membangun Papua dengan hati” serta menghormati “hak-hak asasi manusia dan budaya Papua” (Koran Tempo, Rubrik Pendapat, 10/4/14). Namun tidak ada perubahan yang berarti dari 1963 hingga kekuasaan presiden tersebut berakhir. Papua tetap begitu-begitu saja. Kekerasan dilakukan oleh pemegang jabatan pemerintahan, baik tentara, polisi, maupun sipir penjara. Hak Kebebasan dari Penyiksaan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik jelas-jelas telah dilanggar. Pelanggaran HAM terjadi.

Mungkin Gajah Mada harus dihidupkan kembali, untuk memberi kuliah 4 sks untuk mereka semua, sebagai calon pemimpin. Tujuh abad telah berlalu sejak dikumandangkannya sumpah palapa, sumpah untuk menyatukan nusantara, dan tidak akan menikmati hal menyenangkan sebelum sumpah terpenuhi. Dia mengucapkan sumpah itu di hadapan penguasa dan para pembesar Majapahit dalam balairung kedaton, yang dianggap sebagai pernyataan politik. Sumpahnya masih bergaung hingga saat iniyang seharusnya menjadi ilham para calon pemimpin sebelum mengucapkan sumpah.

Saat kita melihat di media massa, bahkan banyak ‘orang besar’ yang tidak konsisten dengan ucapannya. Seorang reformis, justru berkoalisi dengan mereka yang memiliki latar belakang orde baru. Seorang negarawan, tidak konsisten dengan ucapannya untuk melihat semua calon presiden dari latar belakang, namun justru memihak mereka yang notabene tidak baik di masa lalu. Konsistensi dan pemenuhan janji harus ditegakkan.

Ada satu pertanyaan besar yang layak untuk dipertanyakan. Apakah mereka berfikir jangka panjang sebelum bersumpah? Ironi terjadi saat sumpah dan janji hanya mereka anggap sebagai wacana biasa, bukan lagi menjadi hal yang sakral. Dibandingkan dengan para pendahulu, jelas mereka sebelum bersumpah dan berjanji harus melalui gejolak pemikiran yang berat, termasuk kemungkinan yang ada saat mereka tidak dapat memenuhi janji-janji mereka.

Semoga saja hal tersebut juga terjadi pada para calon pemimpin saat ini. Mereka harus berfikir dua kali, bahkan lima kali sebelum mengucapkan janji. Menurut KBBI, janji adalah ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pada dasarnya, janji harus disanggupi, dan yang diucapkan haruslah hal yang realistis, dikarenakan unsur kesanggupan tersebut. Bukan muluk-muluk berjanji, bagaikan memetik bintang. Kalau memang sudah terlanjur diucapkan, solusinya hanya satu, yaitu dipenuhi dan dibuktikan. Bagaimanapun caranya, termasuk bertaruh dengan malaikat pencabut nyawa, seperti Bhisma dan Brienne.

*Dimuat pada http://www.lpmkeadilan.com/ tanggal 5 juli 2014.

No comments:

Post a Comment