Tuesday, 11 October 2016

Sekolah untuk Mahasiswa


“Maka, pun tidak diperkarakan lagi: apakah memang benar lebih baik bagi anak itu jika ia terus bersekolah? Apakah justru tak lebih baik baginya kalau ia bekerja saja? Bukankah dengan bekerja ia justru bisa lebih cepat bersikap mandiri dan dewasa? Bukankah itu menjadi salah satu tujuan akhir dari proses pendidikan sendiri dan, itu berarti, bahwa ia sesungguhya tetap “bersekolah” juga?”
- Sekolah itu Candu

Semua bentuk wacana tentang apatisme mahasiswa, degradasi perjuangan mahasiswa, dan kurang kritisnya mahasiswa sudah menjadi pembicaraan yang sangat klise. Mahasiswa era sekarang, tidak sedikit yang tidak paham tentang konflik-konflik, isu-isu, yang terjadi di sekitarnya. Misal, apakah mahasiswa sekarang paham tentang konflik agraria di Kulonprogo? Apakah mahasiswa tahu bahwa ribuan aparat pernah turun ke ladang warga, hanya untuk mengamankan pematokan tanah warga yang menolak dibangunnya bandara di kulonprogo? Apakah mahasiswa paham tentang betapa tidak adilnya pengelolaan tanah di Yogyakarta dengan adanya Sultan Ground dan Pakualaman Ground? Bagaimana dengan kriminalisasi Obby Kogoya, mahasiswa papua di Yogyakarta yang seharusnya menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan Polisi? Atau, apakah mahasiswa paham tentang betapa sewenang-wenangnya penangkapan terhadap kaum miskin kota di Yogyakarta? Jelas, berita tersebut tidak pernah tembus ke media mainstream, apalagi di kolom-kolom timeline LINE maupun Path.

Eko Prasetyo, pendiri Social Movement Instute, sekaligus juga Alumni FH UII, sudah berkali-kali menulis kritik maupun mengisi diskusi tentang lesunya mahasiswa sekarang. “Ikutlah organisasi, status sebagai mahasiswa jangan di sia-siakan, mahasiswa itu bukan hanya status. Mahaiswa harus terjun ke masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban,” ucapnya tahun 2015 lalu di Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta.

Maka selaras dengan Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan “Didiklah rakyat dengan organisasi!”. Fungsi organisasi tidak lain adalah untuk membuka mata akan realita sosial, permasalahan yang sedang dihadapi. Organisasi ibarat sekolah yang harus dirasakan oleh mahasiswa. Jelas, sekolah ini bukanlah sekolah formal yang telah mentradisi dan berjenjang seperti pendidikan nasional kita. Semua orang harus merasakan organisasi sosial, yang membahas suatu isu, membuat pengabdian pada masyarakat, membahas ketidakadilan, dan memahami realita sosial yang sebenarnya. Bahwasanya, dunia sesungguhnya dan konflik sosial tidak hanya sebatas kasus Jessica dan Mirna. Atau jangan-jangan mahasiswa sekarang ada juga yang tidak tahu Munir? Ia juga diracun bung, dengan racun yang sama dengan racun Mirna.

Jangan sampai saja, mahasiswa hanya mengejar gelar-gelar yang akan melekat di belakang nama, dan berkuliah hanya karena paksaan orang tua dan gengsi semata. Mengutip buku 'Sekolah itu Candu', “Pada akhirnya masuk universitas, melaksanakan pendidikan jenjang Sarjana, sudah “mentradisi”, memang telah mendarah-daging dan nyaris menjadi segala-galanya: merasuk ke dalam jiwa dan pikiran, lalu menghablur jadi satu dengan citra keberadaan, menjadi jati diri kita sendiri. Mengusik-usiknya akan segera dirasakan dan diartikan sebagai mengusik-usik diri sendiri. Lalu irrasionalitas pun bicara dan mitos-mitos pun tumbuh subur tak terelakkan.”

Mahasiswa pun tidak boleh merasa cukup dengan pendidikan dalam kelas kuliah. Materi-materi kuliah dalam kelas sangat terbatas, dan terkurung dalam satu kurikulum yang sudah ditentukan. Maka, memang dalam meluaskan perspektif, ruang kelas tidaklah cukup. Diskusi-diskusi diluar kelas sangat terbuka lebar untuk semua kalangan. Pilihannya tinggal mau atau tidak mau. Menjadi mahasiswa adalah waktu yang sangat baik untuk memahami dari berbagai sisi dan multi perspektif.

Organisasi tidak lain untuk belajar seperti fungsi sekolah. Organisasi sebagai sekolah dan pendidikan pun haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, hingga pada akhirnya mengenali keadaan yang tidak manusiawi. Sudah banyak organisasi rakyat yang tumbuh, dan mendidik rakyat. Beberapa pengelolanya tidak lain adalah mahasiswa, tentu mahasiswa yang tersadarkan untuk saling membantu dan berproses bersama rakyat yang tidak seberuntung mahasiswa pada umumnya. Dengan organisasi, anda bisa berdiskusi intelektual, serta menuangkannya secara intelektual pula. Ilmumu tidak hanya digunakan di dalam kelas kuliah, namun akan bermanfaat pula untuk masyarakat dengan mengamalkannya. Rasulullah pun pernah bersabda, “Telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat kelak hingga ia ditanya tentang empat hal : (salah satunya adalah) tentang ilmunya, apa yang sudah dia amalkan dari ilmunya tersebut?” (HR. Tirmidzi). Maka, amalkanlah ilmu dari kuliah untuk masyarakat luas, agar pada akhirnya ilmu tersebut tidak menjadi beban tanggung jawab di hari kiamat nanti.

Perlu diingat, Islam adalah agama Rahmatan Lil 'Alamin, yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Sebagai mahasiswa muslim, kata tersebut harus tetap meresap di sanubari, dilaksanakan, dan menciptakan alam semesta yang penuh rahmat dan sejahtera, tanpa ketidakadilan dan penindasan.

Ingatlah Al-Maaidah ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Mahasiswa harus berperilaku adil untuk semua orang, tanpa membedakan kaum-kaum berdasarkan warna kulit, ras, suku, agama, maupun orientasi seksual.

Maka mudahnya, akan berapa banyak mahasiswa UII yang akan berpartisipasi dan melakukan pembelaan dan beramal terhadap rakyat yang diabaikan, korban ketidakadilan, korban-korban yang termarginalkan, khususnya di Yogyakarta ini? Menjadi pembawa rahmat dan kesejahteraan untuk seluruh lapisan masyarakat. Tapi perlu pula dicatat, jangan sampai mahasiswa yang berorganisasi pun hanya menjadi aktivis-aktivis yang asik sendiri di dalam kampus, yang sibuk dengan permasalahan internal kampus, terjebak dengan ruang yang diciptakan kampus, yang akhirnya kampus pun sukses menutup mata mahasiswa dari konflik-konflik yang lebih nyata di luar kampus.

Atau memang jangan-jangan pernyataan Adam Smith, si Bapak Kapitalisme, dan Alfred Marshall, pemuka aliran teori ekonomi neo-klasik, adalah benar. Mereka menyatakan bahwa seorang lulusan sekolah, yang dalam hal ini juga Universitas, bisa dipersamakan sebagai satu sekrup, suatu komponen, satu faktor atau fungsi produksi ekonomi yang utama dan vital. dari roda mesin raksasa yang bernama sistem perekonomian. Maka jelas saja, bahwa seorang sarjana mutlaknya adalah melanggengkan sistem ekonomi yang sedang bekerja. Apakah kita pada akhirnya hanya sebatas ingin menjadi sekrup-sekrup dari sistem ekonomi? Perlu kita renungkan bersama.

*Dimuat dalam K-Post (LPM KEADILAN FH UII) Edisi Ospek

No comments:

Post a Comment