“Maka, pun tidak diperkarakan lagi: apakah memang benar lebih baik
bagi anak itu jika ia terus bersekolah? Apakah justru tak lebih baik
baginya kalau ia bekerja saja? Bukankah dengan bekerja ia justru bisa
lebih cepat bersikap mandiri dan dewasa? Bukankah itu menjadi salah
satu tujuan akhir dari proses pendidikan sendiri dan, itu berarti,
bahwa ia sesungguhya tetap “bersekolah” juga?”
- Sekolah itu Candu
Semua bentuk wacana tentang apatisme mahasiswa, degradasi perjuangan
mahasiswa, dan kurang kritisnya mahasiswa sudah menjadi pembicaraan
yang sangat klise. Mahasiswa era sekarang, tidak sedikit yang tidak
paham tentang konflik-konflik, isu-isu, yang terjadi di sekitarnya.
Misal, apakah mahasiswa sekarang paham tentang konflik agraria di
Kulonprogo? Apakah mahasiswa tahu bahwa ribuan aparat pernah turun ke
ladang warga, hanya untuk mengamankan pematokan tanah warga yang
menolak dibangunnya bandara di kulonprogo? Apakah mahasiswa paham
tentang betapa tidak adilnya pengelolaan tanah di Yogyakarta dengan
adanya Sultan Ground dan Pakualaman Ground? Bagaimana dengan
kriminalisasi Obby Kogoya, mahasiswa papua di Yogyakarta yang
seharusnya menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan Polisi? Atau,
apakah mahasiswa paham tentang betapa sewenang-wenangnya penangkapan
terhadap kaum miskin kota di Yogyakarta? Jelas, berita tersebut tidak
pernah tembus ke media mainstream,
apalagi di kolom-kolom timeline LINE
maupun Path.
Eko Prasetyo, pendiri Social Movement Instute, sekaligus juga
Alumni FH UII, sudah berkali-kali menulis kritik maupun mengisi
diskusi tentang lesunya mahasiswa sekarang. “Ikutlah organisasi,
status sebagai mahasiswa jangan di sia-siakan, mahasiswa itu bukan
hanya status. Mahaiswa harus terjun ke masyarakat sebagai bentuk
pertanggungjawaban,” ucapnya tahun 2015 lalu di Fakultas Ekonomi,
Universitas Negeri Yogyakarta.
Maka selaras dengan Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan “Didiklah
rakyat dengan organisasi!”. Fungsi organisasi tidak lain adalah
untuk membuka mata akan realita sosial, permasalahan yang sedang
dihadapi. Organisasi ibarat sekolah yang harus dirasakan oleh
mahasiswa. Jelas, sekolah ini bukanlah sekolah formal yang telah
mentradisi dan berjenjang seperti pendidikan nasional kita. Semua
orang harus merasakan organisasi sosial, yang membahas suatu isu,
membuat pengabdian pada masyarakat, membahas ketidakadilan, dan
memahami realita sosial yang sebenarnya. Bahwasanya, dunia
sesungguhnya dan konflik sosial tidak hanya sebatas kasus Jessica dan
Mirna. Atau jangan-jangan mahasiswa sekarang ada juga yang tidak tahu
Munir? Ia juga diracun bung, dengan racun yang sama dengan racun
Mirna.
Jangan sampai saja, mahasiswa hanya mengejar gelar-gelar yang akan
melekat di belakang nama, dan berkuliah hanya karena paksaan orang
tua dan gengsi semata. Mengutip buku 'Sekolah itu Candu', “Pada
akhirnya masuk universitas, melaksanakan pendidikan jenjang Sarjana,
sudah “mentradisi”, memang telah mendarah-daging dan nyaris
menjadi segala-galanya: merasuk ke dalam jiwa dan pikiran, lalu
menghablur jadi satu dengan citra keberadaan, menjadi jati diri kita
sendiri. Mengusik-usiknya akan segera dirasakan dan diartikan sebagai
mengusik-usik diri sendiri. Lalu irrasionalitas pun bicara dan
mitos-mitos pun tumbuh subur tak terelakkan.”
Mahasiswa pun tidak boleh merasa cukup dengan pendidikan dalam kelas
kuliah. Materi-materi kuliah dalam kelas sangat terbatas, dan
terkurung dalam satu kurikulum yang sudah ditentukan. Maka, memang
dalam meluaskan perspektif, ruang kelas tidaklah cukup.
Diskusi-diskusi diluar kelas sangat terbuka lebar untuk semua
kalangan. Pilihannya tinggal mau atau tidak mau. Menjadi mahasiswa
adalah waktu yang sangat baik untuk memahami dari berbagai sisi dan
multi perspektif.
Organisasi tidak lain untuk belajar seperti fungsi sekolah.
Organisasi sebagai sekolah dan pendidikan pun haruslah berorientasi
kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, hingga
pada akhirnya mengenali keadaan yang tidak manusiawi. Sudah banyak
organisasi rakyat yang tumbuh, dan mendidik rakyat. Beberapa
pengelolanya tidak lain adalah mahasiswa, tentu mahasiswa yang
tersadarkan untuk saling membantu dan berproses bersama rakyat yang
tidak seberuntung mahasiswa pada umumnya. Dengan organisasi, anda
bisa berdiskusi intelektual, serta menuangkannya secara intelektual
pula. Ilmumu tidak hanya digunakan di dalam kelas kuliah, namun akan
bermanfaat pula untuk masyarakat dengan mengamalkannya. Rasulullah
pun pernah bersabda, “Telapak kaki seorang hamba tidak akan
bergeser pada hari kiamat kelak hingga ia ditanya tentang empat hal :
(salah satunya adalah) tentang ilmunya, apa yang sudah dia amalkan
dari ilmunya tersebut?” (HR. Tirmidzi). Maka, amalkanlah ilmu dari
kuliah untuk masyarakat luas, agar pada akhirnya ilmu tersebut tidak
menjadi beban tanggung jawab di hari kiamat nanti.
Perlu diingat, Islam adalah agama Rahmatan Lil 'Alamin, yang membawa
rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Sebagai mahasiswa
muslim, kata tersebut harus tetap meresap di sanubari, dilaksanakan,
dan menciptakan alam semesta yang penuh rahmat dan sejahtera, tanpa
ketidakadilan dan penindasan.
Ingatlah Al-Maaidah ayat 8, “Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Mahasiswa harus
berperilaku adil untuk semua orang, tanpa membedakan kaum-kaum
berdasarkan warna kulit, ras, suku, agama, maupun orientasi seksual.
Maka mudahnya, akan berapa banyak
mahasiswa UII yang akan berpartisipasi dan melakukan pembelaan dan
beramal terhadap rakyat yang diabaikan, korban ketidakadilan,
korban-korban yang termarginalkan, khususnya di Yogyakarta ini?
Menjadi pembawa rahmat dan kesejahteraan untuk seluruh lapisan
masyarakat. Tapi perlu pula dicatat, jangan sampai mahasiswa yang
berorganisasi pun hanya menjadi aktivis-aktivis yang asik sendiri di
dalam kampus, yang sibuk dengan permasalahan internal kampus,
terjebak dengan ruang yang diciptakan kampus, yang akhirnya kampus
pun sukses menutup mata mahasiswa dari konflik-konflik yang lebih
nyata di luar kampus.
Atau memang jangan-jangan pernyataan Adam Smith, si
Bapak Kapitalisme, dan Alfred Marshall, pemuka aliran teori ekonomi
neo-klasik, adalah benar. Mereka menyatakan bahwa seorang lulusan
sekolah, yang dalam hal ini juga Universitas, bisa dipersamakan
sebagai satu sekrup, suatu komponen, satu faktor atau fungsi produksi
ekonomi yang utama dan vital. dari roda mesin raksasa yang bernama
sistem perekonomian. Maka jelas saja, bahwa seorang sarjana mutlaknya
adalah melanggengkan sistem ekonomi yang sedang bekerja. Apakah kita
pada akhirnya hanya sebatas ingin menjadi sekrup-sekrup dari sistem
ekonomi? Perlu kita renungkan bersama.
*Dimuat dalam K-Post (LPM KEADILAN FH UII) Edisi Ospek
No comments:
Post a Comment