Tuesday, 11 October 2016

Seorang Musuh Bernama 'Kebencian'


Begitu rendahnya sehingga mereka membenarkan orang Papua disayat, diperkosa, untuk kesenangan mereka seperti berolahraga.” Ucap Filep Karma.

Tatapan semua orang terfokus pada satu titik orang bergerombol pada seseorang papua muda. Papua muda itu Obby Kogoya, tersungkur ke tanah. Lampu perempatan itu masih menyala seperti biasa. Namun hari itu lalu lalang pengendara tidak sesibuk biasanya.
Tolong Tuhan, tolong.. saya tidak salah, Tuhan tolong saya tidak salah, adu mama tolong, adu mama tolong.” rintih Obby.
Beberapa polisi berpakaian preman itu tidak mendengarkan permohonan Obby. Mereka tetap menghujani papua muda itu dengan injakan, tendangan, dan pukulan.
Hidung Obby pun sempat ditarik, kepalanya pun sempat diinjak.
Kenapa saudara saya dapat pukul begini-begitu, kami tidak tahu masalah, ada masalah apa?”
Ia melanjutkan, “Obby tidak melakukan apa-apa!”
Bukannya diberi jawaban, Debby Kogoya, kembaran Obby itu justru diborgol tangannya serta dibentak.
E kau bicara apa!” Teriak salah satu polisi.
Tidak ada yang mampu menolong Obby kala itu. Niles Wandik pun melihat Obby sedang jatuh dan diinjak-injak serta di pukul oleh beberapa polisi yang tidak berseragam dinas. Brimob dengan seragam dan senjata lengkap pun berdiri melingkari orang-orang yang sedang memukul, menginjak dan menendang itu.
Tolong! Tolong! Tolong!” Obby masih meneriakkan permohonan.
Kamu diam dulu!” bentak polisi yang sedang menggeromboli sembari memborgol pria malang itu dengan tali.
Proses pengikatannya pun dilakukan dengan amat kasar. Hampir setidaknya 8 orang membantu untuk mengikat. Dengan jalan terseok-seok, kakinya yang pincang mengantarkannya ke mobil polisi untuk dibawa ke Polda DIY.
Wajah lebam nan basah dengan darah, dan luka-luka di sekujur badannya pun terlihat jelas.
Tadinya pun, Niles Wandik yang sedang berusaha memasuki Asrama Mahasiswa Papua melalui pagar Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa pun ditahan oleh seorang Brimob berseragam lengkap, karena mencoba untuk mendekati Obby yang tak henti-hentinya berteriak minta tolong. kamu bikin apa di sini, sambil menarik tanggan Niles ke arah depan kampus UST.
Akhirnya pun tidak menyenangkan. Obby ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap melawan aparat dengan kekerasan. Penetapan tersangka ini memutarbalikkan fakta yang seharusnya Obby menjadi korban, justru menjadi pelaku tindak kekerasan. Praperadilan penetapan tersangka pun ditolak seluruhnya oleh Hakim Pengadilan Negeri Sleman, 30 Agustus silam.

Aksi Mimbar Bebas 14 Juli 2016
Beberapa saat yang lalu pun, saat pembubaran aksi damai mahasiswa Papua dan aktivis prodemokrasi yang mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) kental dengan unsur diskriminasi rasial. Aksi yang rencanannya berlangsung dari Asrama Papua menuju titik nol Yogyakarta batal terlaksana karena polisi dan sejumlah anggota organisasi kemasyarakatan kota mengepung asrama mahasiswa papua. Akibatnya, sekitar 100 mahasiswa dan aktivis prodem tertahan di dalam asrama.

Intimidasi pun terjadi begitu pelik dari luar gerbang asrama. “Asu kamu! Bajingan Kamu!” diteriakkan oleh aparat kepada mahasiswa papua yang kepergok merekam bentrokan aparat dan mahasiswa papua. Video ini pun telah diunggah ke salah satu situs video sharing, Youtube. Organisasi masyarakat kerap meneriakkan ucapan-ucapan provokatif.
Hei mahasiswa papua! Babi kau! Anjing! Minggat Kau!”
Hei anak monyet! Sini!”
Ternyata, teriakan “Monyet! Babi!” itu bukan bentuk ujaran kebencian rasial yang baru untuk orang Papua. Filep Karma pun menjelaskan dalam bukunya, “Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua, sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan kitorang evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah di Solo. Jadi mereka bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali orang Papua dikata-katai, “Monyet! Kethek!” Begitu.”
Ujaran-ujaran kebencian itulah yang pula membuat Aliansi Mahasiswa Papua khawatir dengan rasialisme yang semakin mendalam, dan hilangnya jaminan keamanan di Yogyakarta. Hal itu diperkuat pula dengan adanya ucapan Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY sekaligus Raja. Sultan dalam ucapannya meminta kepada orang Papua di Yogya untuk tidak melakukan aksi separatisme, dan bagi yang memiliki aspirasi separatisme, jangan tinggal di Yogya. Menurut Roy Karoba, Pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua, Pernyataan tersebut dikhawatirkan akan melegitimasi aparat serta ormas di Yogyakarta untuk bertindak diskriminatif terhadap mahasiswa Papua.
Label separatis selama ini digunakan aparat sebagai legalitas untuk membunuh, menangkap, meneror, mengintimidasi, dan memenjarakan orang asli Papua.” Ucap Roy.

Stereotype Terhadap Mahasiswa Papua
Minum minuman keras, mabuk, berbau tidak sedap, lalu buat onar. Hal tersebut melekat bagai simbol terhadap mahasiswa papua, khususnya di Yogyakarta. Mahasiswa Papua di Yogyakarta juga lekat sebagai orang yang tidak taat lalu lintas, dikarenakan lalu lintasnya di jalan raya yang tidak perlu menggunakan helm, maupun tidak menaati aturan 'Satu Motor Dua Orang' atau dalam arti lain, sering berbonceng tiga.
Terhadap hal-hal yang saling berkaitan itulah, Mahasiswa Papua susah untuk mendapat tempat kos. Dalam liputan BBC Indonesia, hal tersebut dikarenakan pandangan umum yang menganggap orang Papua sering mabuk, suka melanggar peraturan, dan suka berkelahi. Pada akhirnya, stigma-stigma tersebutlah yang membuat papua tetap dalam pandangan negatif dan juga sulit mendapat simpati masyarakat.
Ternyata, stigma itu pun sudah ada sejak hadirnya pendatang dari Melayu ke Papua, saat menjadi tukang-tukang bantuan, guru-guru bantu, dan staf administrasi yang dipakai para penginjil dan pendeta Eropa untuk membantu kegiatan pekabaran injil di Tanah Papua. Saat itu pula dalam nama Papua, ada penghinaan kulit hitam berdaki (hitam badaki), paling kotor (pangkotor), berbau busuk tak sedap (babau), tidak tahu mandi (tra tau mandi), pantat telanjang, telinga berlubang (telinga balobang). Hal itu menunjukkan bahwa rasialisme berkembang, dan hingga saat ini belum surut pula.

Filep Karma Memandang Isu Rasialisme
Filep Karma menjelaskan bagaimana di masa lalu, saat Orde Baru, menyatakan bahwa “Saya Papua” adalah tindakan yang dianggap 'sudah separatis', sehingga saat ada tentara yang mendengar pernyataan tersebut, mereka akan berteriak “Apa maksutmu?! Kau separatis?!”
Buku 'Seakan Kitorang Setengah Binatang' sedikit banyak menjelaskan tentang rasialisme yang terjadi di Papua yang dilakukan oleh Indonesia. Bagaimanapun, isu rasialisme adalah unsur yang paling dekat dengan konflik Indonesia - Papua. Filep Karma pun mengiyakan dalam bukunya, perlakuan kejam Indonesia terhadap orang Papua ini karena dasar rasialisme mendalam. Orang Indonesia pada umumnya, dan tentara khususnya, menganggap orang Papua, dengan identitas Melanesia dan Kristen, lebih rendah dari identitas Indonesia. Begitu rendahnya sehingga mereka membenarkan orang Papua disayat, diperkosa, untuk kesenangan mereka seperti berolahraga.
Filep bercerita, ada suatu ketika, para tentara mengejek seorang pria Papua yang sekarat dengan seolah kepada 'setengah-binatang', mengejek cita-citanya agar papua merdeka. Seakan-akan dengan meneriakkan semangat kemerdekaan, orang Papua berhak diperlakukan setengah binatang.
Perlakuan diskriminatif sudah mulai terlihat pada tahun 1963, ketika Indonesia mendapat mandat dari Persatuan Bangsa Bangsa untuk mengelola Papua secara sementara. Indonesia datang dan bertindak brutal dan sewenang-wenang. Menurut Filep, kesewenang-wenangan itu pun tumbuh dari rasa superioritas. Indonesia merasa super, merasa pintar, dan merasa memegang kekuasaan. Suatu ketika pun, di 1963 saat belanda meninggalkan Papua beserta infrastruktur dan fasilitas kesehatan dan pendidikan, militer Indonesia datang resmi ke Indonesia dan menjarah barang-barang peninggalan belanda dan dibawa pulang ke Jawa. “Jadi, belanda itu pulang hanya membawa koper pakaian-pakaian” ucap Filep Karma sembari tertawa, saat ia mengisi diskusi di Seknas Gusdurian, 22 Agustus lalu.
Menurut Filep, latar belakang budaya dalam Jawa pun melihat individu yang berkulit hitam, keriting, adalah penggambaran dari keluarga Kurawa dalam Wayang Mahabharata. Dalam wayang itu pun, digambarkan tokoh-tokoh Kurawa, keluarga yang jahat, pasti berkulit hitam, keriting. Perangainya kasar, bodoh, brutal, memaksakan kehendak, dan wajib dibinasakan. Secara sadar atau tidak, sudah terpatri di benak teman-teman dari budaya wayang bahwa orang kulit hitam tersebut jahat.
Pada akhirnya, diskriminasi tersebutlah yang menjadi landasan untuk perampasan hak-hak orang Papua yang sering terjadi, antara lain tanah, posisi di pemerintahan, ataupun perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki orang Papua. Caranya pun mudah, cukup dengan menuduh orang Papua tersebut OPM, maka saat itu orang itu ditangkap, dan semua asetnya berpindah tangan ke non-papua. Pada akhirnya, memang isu menuduh OPM yang melekat pada pribadi orang Papua, menjadi isu yang diskriminatif, yang menjadi pembenaran untuk melakukan penangkapan, penghilangan paksa, bahkan penyiksaan hingga pembunuhan terhadap orang Papua. Bahkan pula saat orang Papua meneriakkan hak-haknya. “Bila dia bicara menuntut haknya, sudah ditangkap dan dipenjarakan. Ini membuat luka-luka cukup dalam bagi mereka.” Ucap Filep.


*Dimuat dalam Majalah SAKSI (LBH Yogyakarta) Tahun 2016

No comments:

Post a Comment