“Aku berjanji tidak akan menduduki kursi kerajaan yang diwariskan 
padaku. Tidak akan kawin dan akan menjalani kesucian sepanjang hidupku, 
agar aku tak mempunyai anak cucu yang akan berebut kekuasaan dengan anak
 cucumu, wahai Satyawati,” ucap Dewabrata kepada Satyawati dan ayah 
Satyawati, dipinggir sungai Yamuna. Diantara desiran air, sumpah suci 
telah diucapkan dan seketika berguguranlah kembang-kembang yang beraroma
 wangi nan suci menaburi kepala Dewabrata, sementara angkasa raya 
bergema merdu: “Bhisma… Bhisma… Bhisma….” Semenjak itulah Dewabrata 
berganti panggilan menjadi Bhisma.
Bhisma, bahasa sanskerta yang berarti ‘dia yang sumpahnya dasyat’. 
Bhisma memilih untuk tidak mengingkari mulutnya, mengkhianati 
pikirannya, dan selalu memenuhi sumpahnya. Bahkan, dalam hal 
mempertaruhkan nyawanya. Diperang Bharatayudha Bhisma telah mengetahui 
bahwa tiada kecuali Pandhawa-lah yang akan menang. Namun setelah 
mengerti pemenang perang, Bhisma tidak lantas memilih kubu Pandhawa. Dia
 telah berjanji untuk mengabdi pada Dritarastra ayah dari kurawa, yang 
juga berarti berperang di pihak Kurawa. Biarlah nyawa hilang, asal janji
 tetap dipegang.
Begitu pula Brienne Tarth, seorang wanita yang mengucapkan janji sehidup semati untuk menemukan anak Catelyn Stark pada buku “A Song of Ice and Fire”, karya
 George R.R. Martin. Untuk memenuhinya, perjalanan panjang dan 
pertumpahan darah dengan puluhan prajurit dari clan lain, maupun bandit 
dia hadapi. Bersama pedangnya “oathkeeper” yang artinya penjaga sumpah. 
Tidak terduga, sebelum sumpahnya terpenuhi, Catelyn terbunuh terlebih 
dahulu oleh kerajaan lawan. Kematiannya tidak berarti sumpah mereka 
batal dan dia kukuh tetap memegang sumpahnya. “I will find her, my 
lady. I will never stop looking. I will give up my life if need be, give
 up my honour, give up all my dreams, but I will find her”, ucapnya pada Catelyn.
Hadirlah tahun 2014, saat penentuan dimana pemimpin dipilih, atau 
dapat disebut ‘ajang janji-janji’ calon pemimpin. Tentu, dunia ini bukan
 dunia fiksi ala Mahabharata ataupun A Song of Ice and Fire, 
sehingga janji yang tidak sepenuhnya dipenuhi adalah hal yang maklum. 
Mereka yang terpilih akan bekerja sebagai pemimpin-pemimpin yang 
seharusnya amanat dan bisa dipercaya. Tidak hanya presiden, namun juga 
wakil rakyat, wakil daerah, rektor, dekan, wakil mahasiswa, dan mereka 
semua yang diberi amanat. Janji dan sumpah telah terucap, baik janji 
mereka untuk memimpin dan berbuat hal bijaksana, juga sumpah mereka pada
 peraturan, sertasaat mengemban jabatan.
Padahal janji yang tidak dipenuhi dan terlanjur diucapkan kepada 
masyarakat, dapat mengubah mental dan paradigma masyarakat sendiri. 
Semakin banyaknya janji yang diucapkan di masa lalu tidak dipenuhi, maka
 batas kepercayaan masyarakat di masa kini akan semakin menurun. 
Ujung-ujungnya, masyarakat akan mengabaikan janji dari seorang calon 
pemimpin dan lebih memilih mereka yang banyak bekerja, serta sedikit 
janji. Trauma, untuk memilih mereka yang bermodal mulut dan jargon 
menarik, yang tidak dapat dibuktikan. Pada akhirnya, semua janji-janji 
akan ‘mental’, bahkan sebelum sempat dibuktikan. Jangan salahkan mereka 
yang ada di masa lalu, walaupun mereka memang salah.
Frederika Korain, mengungkapkan kekecewaannya pada presiden terakhir 
Indonesia yang tidak menepati janjinya untuk “membangun Papua dengan 
hati” serta menghormati “hak-hak asasi manusia dan budaya Papua” (Koran 
Tempo, Rubrik Pendapat, 10/4/14). Namun tidak ada perubahan yang berarti
 dari 1963 hingga kekuasaan presiden tersebut berakhir. Papua tetap 
begitu-begitu saja. Kekerasan dilakukan oleh pemegang jabatan 
pemerintahan, baik tentara, polisi, maupun sipir penjara. Hak Kebebasan 
dari Penyiksaan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik 
jelas-jelas telah dilanggar. Pelanggaran HAM terjadi.
Mungkin Gajah Mada harus dihidupkan kembali, untuk memberi kuliah 4 
sks untuk mereka semua, sebagai calon pemimpin. Tujuh abad telah berlalu
 sejak dikumandangkannya sumpah palapa, sumpah untuk menyatukan 
nusantara, dan tidak akan menikmati hal menyenangkan sebelum sumpah 
terpenuhi. Dia mengucapkan sumpah itu di hadapan penguasa dan para 
pembesar Majapahit dalam balairung kedaton, yang dianggap sebagai 
pernyataan politik. Sumpahnya masih bergaung hingga saat iniyang 
seharusnya menjadi ilham para calon pemimpin sebelum mengucapkan sumpah.
Saat kita melihat di media massa, bahkan banyak ‘orang besar’ yang 
tidak konsisten dengan ucapannya. Seorang reformis, justru berkoalisi 
dengan mereka yang memiliki latar belakang orde baru. Seorang negarawan,
 tidak konsisten dengan ucapannya untuk melihat semua calon presiden 
dari latar belakang, namun justru memihak mereka yang notabene tidak 
baik di masa lalu. Konsistensi dan pemenuhan janji harus ditegakkan.
Ada satu pertanyaan besar yang layak untuk dipertanyakan. Apakah 
mereka berfikir jangka panjang sebelum bersumpah? Ironi terjadi saat 
sumpah dan janji hanya mereka anggap sebagai wacana biasa, bukan lagi 
menjadi hal yang sakral. Dibandingkan dengan para pendahulu, jelas 
mereka sebelum bersumpah dan berjanji harus melalui gejolak pemikiran 
yang berat, termasuk kemungkinan yang ada saat mereka tidak dapat 
memenuhi janji-janji mereka.
Semoga saja hal tersebut juga terjadi pada para calon pemimpin saat 
ini. Mereka harus berfikir dua kali, bahkan lima kali sebelum 
mengucapkan janji. Menurut KBBI, janji adalah ucapan yang menyatakan 
kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pada dasarnya, janji harus 
disanggupi, dan yang diucapkan haruslah hal yang realistis, dikarenakan 
unsur kesanggupan tersebut. Bukan muluk-muluk berjanji, bagaikan memetik
 bintang. Kalau memang sudah terlanjur diucapkan, solusinya hanya satu, 
yaitu dipenuhi dan dibuktikan. Bagaimanapun caranya, termasuk bertaruh 
dengan malaikat pencabut nyawa, seperti Bhisma dan Brienne.
*Dimuat pada http://www.lpmkeadilan.com/ tanggal 5 juli 2014.