Tuesday, 11 October 2016

Seorang Musuh Bernama 'Kebencian'


Begitu rendahnya sehingga mereka membenarkan orang Papua disayat, diperkosa, untuk kesenangan mereka seperti berolahraga.” Ucap Filep Karma.

Tatapan semua orang terfokus pada satu titik orang bergerombol pada seseorang papua muda. Papua muda itu Obby Kogoya, tersungkur ke tanah. Lampu perempatan itu masih menyala seperti biasa. Namun hari itu lalu lalang pengendara tidak sesibuk biasanya.
Tolong Tuhan, tolong.. saya tidak salah, Tuhan tolong saya tidak salah, adu mama tolong, adu mama tolong.” rintih Obby.
Beberapa polisi berpakaian preman itu tidak mendengarkan permohonan Obby. Mereka tetap menghujani papua muda itu dengan injakan, tendangan, dan pukulan.
Hidung Obby pun sempat ditarik, kepalanya pun sempat diinjak.
Kenapa saudara saya dapat pukul begini-begitu, kami tidak tahu masalah, ada masalah apa?”
Ia melanjutkan, “Obby tidak melakukan apa-apa!”
Bukannya diberi jawaban, Debby Kogoya, kembaran Obby itu justru diborgol tangannya serta dibentak.
E kau bicara apa!” Teriak salah satu polisi.
Tidak ada yang mampu menolong Obby kala itu. Niles Wandik pun melihat Obby sedang jatuh dan diinjak-injak serta di pukul oleh beberapa polisi yang tidak berseragam dinas. Brimob dengan seragam dan senjata lengkap pun berdiri melingkari orang-orang yang sedang memukul, menginjak dan menendang itu.
Tolong! Tolong! Tolong!” Obby masih meneriakkan permohonan.
Kamu diam dulu!” bentak polisi yang sedang menggeromboli sembari memborgol pria malang itu dengan tali.
Proses pengikatannya pun dilakukan dengan amat kasar. Hampir setidaknya 8 orang membantu untuk mengikat. Dengan jalan terseok-seok, kakinya yang pincang mengantarkannya ke mobil polisi untuk dibawa ke Polda DIY.
Wajah lebam nan basah dengan darah, dan luka-luka di sekujur badannya pun terlihat jelas.
Tadinya pun, Niles Wandik yang sedang berusaha memasuki Asrama Mahasiswa Papua melalui pagar Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa pun ditahan oleh seorang Brimob berseragam lengkap, karena mencoba untuk mendekati Obby yang tak henti-hentinya berteriak minta tolong. kamu bikin apa di sini, sambil menarik tanggan Niles ke arah depan kampus UST.
Akhirnya pun tidak menyenangkan. Obby ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap melawan aparat dengan kekerasan. Penetapan tersangka ini memutarbalikkan fakta yang seharusnya Obby menjadi korban, justru menjadi pelaku tindak kekerasan. Praperadilan penetapan tersangka pun ditolak seluruhnya oleh Hakim Pengadilan Negeri Sleman, 30 Agustus silam.

Aksi Mimbar Bebas 14 Juli 2016
Beberapa saat yang lalu pun, saat pembubaran aksi damai mahasiswa Papua dan aktivis prodemokrasi yang mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) kental dengan unsur diskriminasi rasial. Aksi yang rencanannya berlangsung dari Asrama Papua menuju titik nol Yogyakarta batal terlaksana karena polisi dan sejumlah anggota organisasi kemasyarakatan kota mengepung asrama mahasiswa papua. Akibatnya, sekitar 100 mahasiswa dan aktivis prodem tertahan di dalam asrama.

Intimidasi pun terjadi begitu pelik dari luar gerbang asrama. “Asu kamu! Bajingan Kamu!” diteriakkan oleh aparat kepada mahasiswa papua yang kepergok merekam bentrokan aparat dan mahasiswa papua. Video ini pun telah diunggah ke salah satu situs video sharing, Youtube. Organisasi masyarakat kerap meneriakkan ucapan-ucapan provokatif.
Hei mahasiswa papua! Babi kau! Anjing! Minggat Kau!”
Hei anak monyet! Sini!”
Ternyata, teriakan “Monyet! Babi!” itu bukan bentuk ujaran kebencian rasial yang baru untuk orang Papua. Filep Karma pun menjelaskan dalam bukunya, “Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua, sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan kitorang evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah di Solo. Jadi mereka bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali orang Papua dikata-katai, “Monyet! Kethek!” Begitu.”
Ujaran-ujaran kebencian itulah yang pula membuat Aliansi Mahasiswa Papua khawatir dengan rasialisme yang semakin mendalam, dan hilangnya jaminan keamanan di Yogyakarta. Hal itu diperkuat pula dengan adanya ucapan Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY sekaligus Raja. Sultan dalam ucapannya meminta kepada orang Papua di Yogya untuk tidak melakukan aksi separatisme, dan bagi yang memiliki aspirasi separatisme, jangan tinggal di Yogya. Menurut Roy Karoba, Pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua, Pernyataan tersebut dikhawatirkan akan melegitimasi aparat serta ormas di Yogyakarta untuk bertindak diskriminatif terhadap mahasiswa Papua.
Label separatis selama ini digunakan aparat sebagai legalitas untuk membunuh, menangkap, meneror, mengintimidasi, dan memenjarakan orang asli Papua.” Ucap Roy.

Stereotype Terhadap Mahasiswa Papua
Minum minuman keras, mabuk, berbau tidak sedap, lalu buat onar. Hal tersebut melekat bagai simbol terhadap mahasiswa papua, khususnya di Yogyakarta. Mahasiswa Papua di Yogyakarta juga lekat sebagai orang yang tidak taat lalu lintas, dikarenakan lalu lintasnya di jalan raya yang tidak perlu menggunakan helm, maupun tidak menaati aturan 'Satu Motor Dua Orang' atau dalam arti lain, sering berbonceng tiga.
Terhadap hal-hal yang saling berkaitan itulah, Mahasiswa Papua susah untuk mendapat tempat kos. Dalam liputan BBC Indonesia, hal tersebut dikarenakan pandangan umum yang menganggap orang Papua sering mabuk, suka melanggar peraturan, dan suka berkelahi. Pada akhirnya, stigma-stigma tersebutlah yang membuat papua tetap dalam pandangan negatif dan juga sulit mendapat simpati masyarakat.
Ternyata, stigma itu pun sudah ada sejak hadirnya pendatang dari Melayu ke Papua, saat menjadi tukang-tukang bantuan, guru-guru bantu, dan staf administrasi yang dipakai para penginjil dan pendeta Eropa untuk membantu kegiatan pekabaran injil di Tanah Papua. Saat itu pula dalam nama Papua, ada penghinaan kulit hitam berdaki (hitam badaki), paling kotor (pangkotor), berbau busuk tak sedap (babau), tidak tahu mandi (tra tau mandi), pantat telanjang, telinga berlubang (telinga balobang). Hal itu menunjukkan bahwa rasialisme berkembang, dan hingga saat ini belum surut pula.

Filep Karma Memandang Isu Rasialisme
Filep Karma menjelaskan bagaimana di masa lalu, saat Orde Baru, menyatakan bahwa “Saya Papua” adalah tindakan yang dianggap 'sudah separatis', sehingga saat ada tentara yang mendengar pernyataan tersebut, mereka akan berteriak “Apa maksutmu?! Kau separatis?!”
Buku 'Seakan Kitorang Setengah Binatang' sedikit banyak menjelaskan tentang rasialisme yang terjadi di Papua yang dilakukan oleh Indonesia. Bagaimanapun, isu rasialisme adalah unsur yang paling dekat dengan konflik Indonesia - Papua. Filep Karma pun mengiyakan dalam bukunya, perlakuan kejam Indonesia terhadap orang Papua ini karena dasar rasialisme mendalam. Orang Indonesia pada umumnya, dan tentara khususnya, menganggap orang Papua, dengan identitas Melanesia dan Kristen, lebih rendah dari identitas Indonesia. Begitu rendahnya sehingga mereka membenarkan orang Papua disayat, diperkosa, untuk kesenangan mereka seperti berolahraga.
Filep bercerita, ada suatu ketika, para tentara mengejek seorang pria Papua yang sekarat dengan seolah kepada 'setengah-binatang', mengejek cita-citanya agar papua merdeka. Seakan-akan dengan meneriakkan semangat kemerdekaan, orang Papua berhak diperlakukan setengah binatang.
Perlakuan diskriminatif sudah mulai terlihat pada tahun 1963, ketika Indonesia mendapat mandat dari Persatuan Bangsa Bangsa untuk mengelola Papua secara sementara. Indonesia datang dan bertindak brutal dan sewenang-wenang. Menurut Filep, kesewenang-wenangan itu pun tumbuh dari rasa superioritas. Indonesia merasa super, merasa pintar, dan merasa memegang kekuasaan. Suatu ketika pun, di 1963 saat belanda meninggalkan Papua beserta infrastruktur dan fasilitas kesehatan dan pendidikan, militer Indonesia datang resmi ke Indonesia dan menjarah barang-barang peninggalan belanda dan dibawa pulang ke Jawa. “Jadi, belanda itu pulang hanya membawa koper pakaian-pakaian” ucap Filep Karma sembari tertawa, saat ia mengisi diskusi di Seknas Gusdurian, 22 Agustus lalu.
Menurut Filep, latar belakang budaya dalam Jawa pun melihat individu yang berkulit hitam, keriting, adalah penggambaran dari keluarga Kurawa dalam Wayang Mahabharata. Dalam wayang itu pun, digambarkan tokoh-tokoh Kurawa, keluarga yang jahat, pasti berkulit hitam, keriting. Perangainya kasar, bodoh, brutal, memaksakan kehendak, dan wajib dibinasakan. Secara sadar atau tidak, sudah terpatri di benak teman-teman dari budaya wayang bahwa orang kulit hitam tersebut jahat.
Pada akhirnya, diskriminasi tersebutlah yang menjadi landasan untuk perampasan hak-hak orang Papua yang sering terjadi, antara lain tanah, posisi di pemerintahan, ataupun perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki orang Papua. Caranya pun mudah, cukup dengan menuduh orang Papua tersebut OPM, maka saat itu orang itu ditangkap, dan semua asetnya berpindah tangan ke non-papua. Pada akhirnya, memang isu menuduh OPM yang melekat pada pribadi orang Papua, menjadi isu yang diskriminatif, yang menjadi pembenaran untuk melakukan penangkapan, penghilangan paksa, bahkan penyiksaan hingga pembunuhan terhadap orang Papua. Bahkan pula saat orang Papua meneriakkan hak-haknya. “Bila dia bicara menuntut haknya, sudah ditangkap dan dipenjarakan. Ini membuat luka-luka cukup dalam bagi mereka.” Ucap Filep.


*Dimuat dalam Majalah SAKSI (LBH Yogyakarta) Tahun 2016

Sekolah untuk Mahasiswa


“Maka, pun tidak diperkarakan lagi: apakah memang benar lebih baik bagi anak itu jika ia terus bersekolah? Apakah justru tak lebih baik baginya kalau ia bekerja saja? Bukankah dengan bekerja ia justru bisa lebih cepat bersikap mandiri dan dewasa? Bukankah itu menjadi salah satu tujuan akhir dari proses pendidikan sendiri dan, itu berarti, bahwa ia sesungguhya tetap “bersekolah” juga?”
- Sekolah itu Candu

Semua bentuk wacana tentang apatisme mahasiswa, degradasi perjuangan mahasiswa, dan kurang kritisnya mahasiswa sudah menjadi pembicaraan yang sangat klise. Mahasiswa era sekarang, tidak sedikit yang tidak paham tentang konflik-konflik, isu-isu, yang terjadi di sekitarnya. Misal, apakah mahasiswa sekarang paham tentang konflik agraria di Kulonprogo? Apakah mahasiswa tahu bahwa ribuan aparat pernah turun ke ladang warga, hanya untuk mengamankan pematokan tanah warga yang menolak dibangunnya bandara di kulonprogo? Apakah mahasiswa paham tentang betapa tidak adilnya pengelolaan tanah di Yogyakarta dengan adanya Sultan Ground dan Pakualaman Ground? Bagaimana dengan kriminalisasi Obby Kogoya, mahasiswa papua di Yogyakarta yang seharusnya menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan Polisi? Atau, apakah mahasiswa paham tentang betapa sewenang-wenangnya penangkapan terhadap kaum miskin kota di Yogyakarta? Jelas, berita tersebut tidak pernah tembus ke media mainstream, apalagi di kolom-kolom timeline LINE maupun Path.

Eko Prasetyo, pendiri Social Movement Instute, sekaligus juga Alumni FH UII, sudah berkali-kali menulis kritik maupun mengisi diskusi tentang lesunya mahasiswa sekarang. “Ikutlah organisasi, status sebagai mahasiswa jangan di sia-siakan, mahasiswa itu bukan hanya status. Mahaiswa harus terjun ke masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban,” ucapnya tahun 2015 lalu di Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta.

Maka selaras dengan Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan “Didiklah rakyat dengan organisasi!”. Fungsi organisasi tidak lain adalah untuk membuka mata akan realita sosial, permasalahan yang sedang dihadapi. Organisasi ibarat sekolah yang harus dirasakan oleh mahasiswa. Jelas, sekolah ini bukanlah sekolah formal yang telah mentradisi dan berjenjang seperti pendidikan nasional kita. Semua orang harus merasakan organisasi sosial, yang membahas suatu isu, membuat pengabdian pada masyarakat, membahas ketidakadilan, dan memahami realita sosial yang sebenarnya. Bahwasanya, dunia sesungguhnya dan konflik sosial tidak hanya sebatas kasus Jessica dan Mirna. Atau jangan-jangan mahasiswa sekarang ada juga yang tidak tahu Munir? Ia juga diracun bung, dengan racun yang sama dengan racun Mirna.

Jangan sampai saja, mahasiswa hanya mengejar gelar-gelar yang akan melekat di belakang nama, dan berkuliah hanya karena paksaan orang tua dan gengsi semata. Mengutip buku 'Sekolah itu Candu', “Pada akhirnya masuk universitas, melaksanakan pendidikan jenjang Sarjana, sudah “mentradisi”, memang telah mendarah-daging dan nyaris menjadi segala-galanya: merasuk ke dalam jiwa dan pikiran, lalu menghablur jadi satu dengan citra keberadaan, menjadi jati diri kita sendiri. Mengusik-usiknya akan segera dirasakan dan diartikan sebagai mengusik-usik diri sendiri. Lalu irrasionalitas pun bicara dan mitos-mitos pun tumbuh subur tak terelakkan.”

Mahasiswa pun tidak boleh merasa cukup dengan pendidikan dalam kelas kuliah. Materi-materi kuliah dalam kelas sangat terbatas, dan terkurung dalam satu kurikulum yang sudah ditentukan. Maka, memang dalam meluaskan perspektif, ruang kelas tidaklah cukup. Diskusi-diskusi diluar kelas sangat terbuka lebar untuk semua kalangan. Pilihannya tinggal mau atau tidak mau. Menjadi mahasiswa adalah waktu yang sangat baik untuk memahami dari berbagai sisi dan multi perspektif.

Organisasi tidak lain untuk belajar seperti fungsi sekolah. Organisasi sebagai sekolah dan pendidikan pun haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, hingga pada akhirnya mengenali keadaan yang tidak manusiawi. Sudah banyak organisasi rakyat yang tumbuh, dan mendidik rakyat. Beberapa pengelolanya tidak lain adalah mahasiswa, tentu mahasiswa yang tersadarkan untuk saling membantu dan berproses bersama rakyat yang tidak seberuntung mahasiswa pada umumnya. Dengan organisasi, anda bisa berdiskusi intelektual, serta menuangkannya secara intelektual pula. Ilmumu tidak hanya digunakan di dalam kelas kuliah, namun akan bermanfaat pula untuk masyarakat dengan mengamalkannya. Rasulullah pun pernah bersabda, “Telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat kelak hingga ia ditanya tentang empat hal : (salah satunya adalah) tentang ilmunya, apa yang sudah dia amalkan dari ilmunya tersebut?” (HR. Tirmidzi). Maka, amalkanlah ilmu dari kuliah untuk masyarakat luas, agar pada akhirnya ilmu tersebut tidak menjadi beban tanggung jawab di hari kiamat nanti.

Perlu diingat, Islam adalah agama Rahmatan Lil 'Alamin, yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Sebagai mahasiswa muslim, kata tersebut harus tetap meresap di sanubari, dilaksanakan, dan menciptakan alam semesta yang penuh rahmat dan sejahtera, tanpa ketidakadilan dan penindasan.

Ingatlah Al-Maaidah ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Mahasiswa harus berperilaku adil untuk semua orang, tanpa membedakan kaum-kaum berdasarkan warna kulit, ras, suku, agama, maupun orientasi seksual.

Maka mudahnya, akan berapa banyak mahasiswa UII yang akan berpartisipasi dan melakukan pembelaan dan beramal terhadap rakyat yang diabaikan, korban ketidakadilan, korban-korban yang termarginalkan, khususnya di Yogyakarta ini? Menjadi pembawa rahmat dan kesejahteraan untuk seluruh lapisan masyarakat. Tapi perlu pula dicatat, jangan sampai mahasiswa yang berorganisasi pun hanya menjadi aktivis-aktivis yang asik sendiri di dalam kampus, yang sibuk dengan permasalahan internal kampus, terjebak dengan ruang yang diciptakan kampus, yang akhirnya kampus pun sukses menutup mata mahasiswa dari konflik-konflik yang lebih nyata di luar kampus.

Atau memang jangan-jangan pernyataan Adam Smith, si Bapak Kapitalisme, dan Alfred Marshall, pemuka aliran teori ekonomi neo-klasik, adalah benar. Mereka menyatakan bahwa seorang lulusan sekolah, yang dalam hal ini juga Universitas, bisa dipersamakan sebagai satu sekrup, suatu komponen, satu faktor atau fungsi produksi ekonomi yang utama dan vital. dari roda mesin raksasa yang bernama sistem perekonomian. Maka jelas saja, bahwa seorang sarjana mutlaknya adalah melanggengkan sistem ekonomi yang sedang bekerja. Apakah kita pada akhirnya hanya sebatas ingin menjadi sekrup-sekrup dari sistem ekonomi? Perlu kita renungkan bersama.

*Dimuat dalam K-Post (LPM KEADILAN FH UII) Edisi Ospek

Saturday, 5 July 2014

Janji Kembang Kempis Calon Pemimpin

“Aku berjanji tidak akan menduduki kursi kerajaan yang diwariskan padaku. Tidak akan kawin dan akan menjalani kesucian sepanjang hidupku, agar aku tak mempunyai anak cucu yang akan berebut kekuasaan dengan anak cucumu, wahai Satyawati,” ucap Dewabrata kepada Satyawati dan ayah Satyawati, dipinggir sungai Yamuna. Diantara desiran air, sumpah suci telah diucapkan dan seketika berguguranlah kembang-kembang yang beraroma wangi nan suci menaburi kepala Dewabrata, sementara angkasa raya bergema merdu: “Bhisma… Bhisma… Bhisma….” Semenjak itulah Dewabrata berganti panggilan menjadi Bhisma.

Bhisma, bahasa sanskerta yang berarti ‘dia yang sumpahnya dasyat’. Bhisma memilih untuk tidak mengingkari mulutnya, mengkhianati pikirannya, dan selalu memenuhi sumpahnya. Bahkan, dalam hal mempertaruhkan nyawanya. Diperang Bharatayudha Bhisma telah mengetahui bahwa tiada kecuali Pandhawa-lah yang akan menang. Namun setelah mengerti pemenang perang, Bhisma tidak lantas memilih kubu Pandhawa. Dia telah berjanji untuk mengabdi pada Dritarastra ayah dari kurawa, yang juga berarti berperang di pihak Kurawa. Biarlah nyawa hilang, asal janji tetap dipegang.

Begitu pula Brienne Tarth, seorang wanita yang mengucapkan janji sehidup semati untuk menemukan anak Catelyn Stark pada buku “A Song of Ice and Fire, karya George R.R. Martin. Untuk memenuhinya, perjalanan panjang dan pertumpahan darah dengan puluhan prajurit dari clan lain, maupun bandit dia hadapi. Bersama pedangnya “oathkeeper” yang artinya penjaga sumpah. Tidak terduga, sebelum sumpahnya terpenuhi, Catelyn terbunuh terlebih dahulu oleh kerajaan lawan. Kematiannya tidak berarti sumpah mereka batal dan dia kukuh tetap memegang sumpahnya. “I will find her, my lady. I will never stop looking. I will give up my life if need be, give up my honour, give up all my dreams, but I will find her”, ucapnya pada Catelyn.

Hadirlah tahun 2014, saat penentuan dimana pemimpin dipilih, atau dapat disebut ‘ajang janji-janji’ calon pemimpin. Tentu, dunia ini bukan dunia fiksi ala Mahabharata ataupun A Song of Ice and Fire, sehingga janji yang tidak sepenuhnya dipenuhi adalah hal yang maklum. Mereka yang terpilih akan bekerja sebagai pemimpin-pemimpin yang seharusnya amanat dan bisa dipercaya. Tidak hanya presiden, namun juga wakil rakyat, wakil daerah, rektor, dekan, wakil mahasiswa, dan mereka semua yang diberi amanat. Janji dan sumpah telah terucap, baik janji mereka untuk memimpin dan berbuat hal bijaksana, juga sumpah mereka pada peraturan, sertasaat mengemban jabatan.

Padahal janji yang tidak dipenuhi dan terlanjur diucapkan kepada masyarakat, dapat mengubah mental dan paradigma masyarakat sendiri. Semakin banyaknya janji yang diucapkan di masa lalu tidak dipenuhi, maka batas kepercayaan masyarakat di masa kini akan semakin menurun. Ujung-ujungnya, masyarakat akan mengabaikan janji dari seorang calon pemimpin dan lebih memilih mereka yang banyak bekerja, serta sedikit janji. Trauma, untuk memilih mereka yang bermodal mulut dan jargon menarik, yang tidak dapat dibuktikan. Pada akhirnya, semua janji-janji akan ‘mental’, bahkan sebelum sempat dibuktikan. Jangan salahkan mereka yang ada di masa lalu, walaupun mereka memang salah.

Frederika Korain, mengungkapkan kekecewaannya pada presiden terakhir Indonesia yang tidak menepati janjinya untuk “membangun Papua dengan hati” serta menghormati “hak-hak asasi manusia dan budaya Papua” (Koran Tempo, Rubrik Pendapat, 10/4/14). Namun tidak ada perubahan yang berarti dari 1963 hingga kekuasaan presiden tersebut berakhir. Papua tetap begitu-begitu saja. Kekerasan dilakukan oleh pemegang jabatan pemerintahan, baik tentara, polisi, maupun sipir penjara. Hak Kebebasan dari Penyiksaan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik jelas-jelas telah dilanggar. Pelanggaran HAM terjadi.

Mungkin Gajah Mada harus dihidupkan kembali, untuk memberi kuliah 4 sks untuk mereka semua, sebagai calon pemimpin. Tujuh abad telah berlalu sejak dikumandangkannya sumpah palapa, sumpah untuk menyatukan nusantara, dan tidak akan menikmati hal menyenangkan sebelum sumpah terpenuhi. Dia mengucapkan sumpah itu di hadapan penguasa dan para pembesar Majapahit dalam balairung kedaton, yang dianggap sebagai pernyataan politik. Sumpahnya masih bergaung hingga saat iniyang seharusnya menjadi ilham para calon pemimpin sebelum mengucapkan sumpah.

Saat kita melihat di media massa, bahkan banyak ‘orang besar’ yang tidak konsisten dengan ucapannya. Seorang reformis, justru berkoalisi dengan mereka yang memiliki latar belakang orde baru. Seorang negarawan, tidak konsisten dengan ucapannya untuk melihat semua calon presiden dari latar belakang, namun justru memihak mereka yang notabene tidak baik di masa lalu. Konsistensi dan pemenuhan janji harus ditegakkan.

Ada satu pertanyaan besar yang layak untuk dipertanyakan. Apakah mereka berfikir jangka panjang sebelum bersumpah? Ironi terjadi saat sumpah dan janji hanya mereka anggap sebagai wacana biasa, bukan lagi menjadi hal yang sakral. Dibandingkan dengan para pendahulu, jelas mereka sebelum bersumpah dan berjanji harus melalui gejolak pemikiran yang berat, termasuk kemungkinan yang ada saat mereka tidak dapat memenuhi janji-janji mereka.

Semoga saja hal tersebut juga terjadi pada para calon pemimpin saat ini. Mereka harus berfikir dua kali, bahkan lima kali sebelum mengucapkan janji. Menurut KBBI, janji adalah ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pada dasarnya, janji harus disanggupi, dan yang diucapkan haruslah hal yang realistis, dikarenakan unsur kesanggupan tersebut. Bukan muluk-muluk berjanji, bagaikan memetik bintang. Kalau memang sudah terlanjur diucapkan, solusinya hanya satu, yaitu dipenuhi dan dibuktikan. Bagaimanapun caranya, termasuk bertaruh dengan malaikat pencabut nyawa, seperti Bhisma dan Brienne.

*Dimuat pada http://www.lpmkeadilan.com/ tanggal 5 juli 2014.

Friday, 27 June 2014

Pondok Pesantren Berkacamata UNCRC

Pendidikan adalah penguasaan diri, juga memanusiawikan manusia atau peserta didik kian beradab dan memiliki keadaban. Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Begitulah ucapan Ki Hajar Dewantara, menegaskan tentang esensi pendidikan untuk menciptakan manusia yang beradab, mandiri, dewasa, memiliki self control dan sikap bijaksana. Dalam poin tersebutlah Indonesia menegaskan rakyat indonesia untuk menempuh wajib belajar sembilan tahun. Namun ironis, pendidikan tidak terfasilitasi dengan baik pada tingkat pendidikan umum (SD, SMP, SMA). Semakin bertambahnya jenjang pendidikan, diikuti juga dengan turunnya partisipasi masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 tentang indikator pendidikan, angka partisipasi murni tingkat sekolah dasar memang sudah mencapai 92,42%, namun untuk tingkat sekolah menengah pertama hanya mencapai kisaran 70,81%. Merosotnya angka partisipasi juga tidak dapat dilepaskan dengan melambungnya biaya pendidikan dari jenjang ke jenjang.
***

Diluar semua sistem pemerintahan, berdirilah pondok pesantren, sebuah pendidikan yang berasaskan islam, dan dianggap sebagai pendidikan alternatif oleh masyarakat, baik sejak zaman belanda hingga era sekarang. Pada zaman belanda, pendidikan umum hanya dapat dinikmati segelintir orang, dengan keturunan tertentu. Memang, Pondok Pesantren relatif lebih murah dibandingkan pendidikan umum. Di Yogyakarta, Pondok pesantren biasanya hanya memungut uang pangkal Rp 100.000 ketika mendaftar. Setelah itu, pengasuh pondok pesantren tidak memungut biaya pembelajaran, kecuali uang listrik Rp 10.000 per bulan. Terdapat anekdot yang menceritakan seorang santri Nusa Tenggara Timur yang memilih untuk tidak pulang kampung, dikarenakan perjalanan ke NTT mengeluarkan biaya yang jumlahnya sama dengan hidup dalam pondok selama satu tahun. Walaupun dipandang sebagai pendidikan alternatif, kualitas pesantren tidak kalah dengan pendidikan umum. Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang dapat dikatakan khas Indonesia dan membanggakan Islam. Konsentrasi dan kepeloporannya dalam mempertahankan dan melestarikan ajaran-ajaran islam ala Sunni (Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah) serta mengembangkan kajian-kajian keagamaan melalui khazanah berbagai Kitab Kuning (al-kutub al-qadimah).4 Pesantren juga menyiapkan anak-anak dan generasi muda untuk menjadi penerus estafet tegaknya masyarakat muslim. Setelah dewasa, para santri diharapkan mampu mengambil peran sosial secara baik dalam satu tatanan masyarakat muslim yang bahagia di dunia dan selamat di akhirat.

***

Pada tanggal 12 Oktober 2002, terjadi peristiwa Bom Bali I yang menewaskan 200 orang, baik lokal maupun mancanegara. Setelah ditelisik, pelakunya adalah Trio Bersaudara, pengurus dari Pondok Pesantren Al-Islam. Terdapat tiga Pondok Pesantren yang dikaitkan pada tregedi Bom Bali I, yaitu Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem, Pondok Pesantren Ngruki, dan Pondok Pesantren Al-Islam. Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem dikaitkan dengan Bom Bali I karena merupakan tempat belajar sebagian besar pengasuh pondok pesantren Al-Islam, seperti Ust. Khozin (kakak Amrozi), Ali Imron, Ali Gufron, dan Ja'far Siddiq. Juga Pondok Pesantren Ngruki, yang memang kerap dikaitkan dengan radikalisme sejak pertengahan Orde Baru, sudah dianggap sebagai pesantren yang memiliki pandangan-pandangan radikal.

Pondok Pesantren Al-Islam merupakan tempat dimana Trio Bersaudara tinggal, dan nama Pondok Pesantren Al-Islam pun sudah bercitra buruk pada masyarakat sekitar, dikarenakan pengurus pondok ini kerap merusak atau menghancurkan tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, seperti merusak makam sesepuh desa (danyang), yang biasa digunakan masyarakat setempat jika mengadakan syukuran karena dapat rejeki, panen berhasil, sembuh dari sakit, dan sebagainya. Dampak Bom Bali tidak hanya citra buruk Indonesia di mata asing, namun juga tercorengnya Islam dan Pondok Pesantren. Terciptalah asumsi publik yang menganggap banyak aliran ekstrim dan radikal telah diajarkan dalam Pondok Pesantren, terutama dengan sorotan media yang begitu tajam, menghantarkan pada pencorengan nama pesantren se-Indonesia, baik yang berhubungan dengan pelaku Bom Bali, maupun tidak.

***

Maka didasari kasus diatas, untuk menghindari hal-hal yang serupa, dibutuhkan tindakan dari negara untuk melakukan upaya konstruktif sekaligus preventif pada pondok pesantren. Walaupun menurut KH Abdurahman Wahid, pondok pesantren adalah pola kepemimpinan pondok yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, 8 Namun realitanya, jika tetap dibiarkan, tidak menutup kemungkinan beberapa pondok pesantren tetap mengajarkan tentang radikalisme dan ekstrimisme, baik secara langsung maupun tidak langsung.

UNESCO dengan Konvensi Hak-Hak Anak (UNCRC), merancang hak anak dan pendidikan yang harus ditempuh demi kemajuan anak. Konvensi ini menjaga hak-hak anak yang dibawah 18 tahun, yang belum dapat mengurusi haknya sendiri, termasuk haknya dalam pendidikan yang bermutu. UNCRC telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 September 1990, yang berarti Indonesia terikat dengan konvensi tersebut. UNCRC membahas secara spesifik tentang hak anak dalam memperoleh pendidikan yang layak dalam Pasal 29 Ayat 19, dan kewajiban negara untuk mengarahkan pendidikannya ke arah tersebut. Sehingga, negara wajib mengoptimalisasi kualitas pesantren sebagai instansi pendidikan dengan poros UNCRC tersebut. Saat pada realitanya masih ada kondisi dimana beberapa pondok pesantren mengajarkan hal yang bertentangan dengan UNRC, semisal mengajarkan permusuhan antar bangsa dan agama, maka negara bertanggungjawab pada hal tersebut.
***

Terdapat tiga fokus penerapan Pasal 29 Ayat 1 UNCRC, yang pertama, pengembangan poros pendidikan, terutama untuk pesantren, yang hingga saat ini sistem pemerintah belum dapat mengakomodir keberadaan pesantren10. Kedua, penanggulangan ajaran-ajaran yang menanamkan permusuhan antar umat beragama lain yang mungkin ditanamkan pada beberapa pondok pesantren. Ketiga, membuat sinergi yang harmonis antara pendidikan, Islam, dan dunia global. Tentu, pengembangan poros pendidikan merupakan hal yang baru, dikarenakan seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sistem pendidikan pemerintah yang ada sekarang belum bisa mengakomodasi keberadaan pesantren, sehingga pesantren terkesan termajinalkan dan tersisih. Maka pemerintah harus beradaptasi dengan pesantren, dan menciptakan pengawasan dalam bentuk silabus, tanpa menghilangkan kepesantrenannya, adat, nilai keislaman, dan norma-norma yang ada. Pada penanggulangan ajaran-ajaran yang menanamkan permusuhan, dapat dimulai dengan penanaman sifat pluralisme dan tenggangrasa antar umat manusia. Pada hakekatnya, Islam mengajarkan pluralisme dan tenggangrasa antar individu dan tidak memaksa hak orang lain dalam beragama. Poin tersebut dapat dilihat dalam Piagam Madinah, yang menyamaratakan umat agama, satu dengan lain. Begitu juga UNCRC, pada poin (d), mewajibkan pendidikan untuk menerapkan kehidupan yang harmonis dan tenggangrasa pada masyarakat, walaupun berbeda jenis kelamin, etnis, bangsa, agama, maupun suku. Maka dari itu, penanaman jiwa pluralisme dan tenggangrasa merupakan kewajiban instansi pendidikan manapun, termasuk pesantren.

Penggiatan kembali Pondok Pesantren dengan kualitasnya, dan memahami pendidikan sebagai hal yang vital dalam kehidupan anak, adalah langkah awal mengenal sinergi antara pendidikan, Islam, dan Global. Pondok Pesantren merupakan simbol Islam pada Indonesia yang konkrit. Negara, merupakan wakil dari penegakan pendidikan bagi instansi pendidikan, juga Negara wajib menegakkan konvensi UNCRC pada Pondok Pesantren, sebagai simbol dari dunia global. Tidak hanya sinergi, namun juga harmonisasi, yang berarti tanpa mengganggu adat dan moral satu sama lain. Namun yang perlu disadari adalah peran pemerintah, yang harus mengerti esensi dan urgensi pendidikan bagi seorang anak. Dengan kondisi pemerintah yang sadar akan pendidikan, sesungguhnya semua instansi pendidikan, termsuk pondok pesantren, akan mencapai peningkatan optimal kualitas instansi pendidikan, yang berdampak pada peningkatan mutu anak bangsa. Dengan penerapan UNCRC tersebut, Pendidikan dan pondok pesantren akan kembali pada masa kejayaan, membuat santri sebagai agent of change, secara regional dan internasional, dengan asas Islam yang telah dia bawa semenjak dari pondok pesantren. Dengan rintangan berat yang menghadang Indonesia, bukan berarti peningkatan mutu pendidikan adalah hal yang berat. Mengutip dari kata-kata Pramoedya Ananta Toer: "Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”
Indonesia harus berani membuat kenyataan baru, kenyataan bahwa pendidikan dan pondok pesantren akan kembali jaya, sebagai pabrik-pabrik yang menciptakan anak bangsa yang bermutu, dan berasaskan Islam. **

Friday, 16 May 2014

Pahlawan Bersarung Dalam Gedung Doa


Peci dan Sarung, siapa duga orang ini adalah mantan asisten dokter? Ali bercerita sambil mengenang masa awal rantauan. Jiwa rantau semangat rantau.

Adzan subuh belum menggema pada dini hari, sepi masih menaungi gelapnya Malioboro. Neon-neon lampu yang menyala sudah dimatikan, pedagang kaki lima pun sudah tidak terlihat. Beberapa orang terlihat berlalu lalang menawarkan hotel daerah Sastrowijayan. Sesosok bapak berambut keriting tipis muncul, menggeser gerbang masjid. Wajahnya sangar, berkumis tebal, dengan noda hitam pada jidatnya. Dengan bunyi gesekan yang kasar, memecahkan sunyi di kawasan malioboro. Dialah marbot masjid Malioboro di komplek DPRD DIY, Muhammad Ali Fitriadi, yang tidak asing bagi masyarakat sekitar. Ia dikenal sebagai orang rantauan dari Bengkulu.

Masjid Malioboro tepat bersebelahan dengan gedung DPRD DIY, tidak terlalu besar untuk sebuah masjid ditengah kota Malioboro, namun nyaman untuk disinggahi. Nyanyi-nyanyian rohani mulai berseru melalui speaker masjid, menandakan subuh akan segera datang. Masyarakat mulai mengisi ruang shalat, dibawah kubah Malioboro yang serupa bawang. Beberapa orang terlihat menginap di masjid tersebut. Menjelang adzan subuh, Ali tidak dapat bertenang-tenang. Sebagai Marbot masjid ia harus cepat dalam menyiapkan beberapa hal untuk keperluan shalat baik mic hingga speaker. Apalagi, hari ini adalah hari sabtu, pengajian rutin akan diadakan paska shalat subuh berjamaah. Sehingga, dia juga harus menyiapkan LCD dan proyektor. Seorang pembicara diundang untuk mengisi materi rutin. “Untung kemarin tidak telat ya? Coba telat sedikit mungkin minggu lalu akan batal.” ucap seorang pria pengisi pengajian kepada Ali. Minggu lalu acara pengajian rutin memang nyaris dibatalkan dikarenakan terkendala waktu. Ali, layaknya marbot pada umumnya, ia mengurusi masjid dari kebersihan hingga keamanan. Beberapa kasus pencurian memang terkadang terjadi, seperti masjid-masjid lain. Pada awal pembangunan Masjid Malioboro, beberapa Kuningan penghias pilar dicuri oleh orang tidak dikenal. Ali tidak bekerja sendiri, ia ditemani marbot lain yang terkadang membantu kepengurusan masjid, namun tidak tinggal di masjid Malioboro.

Pada tahun 1986, Seorang Dokter mengajak Ali untuk merantau ke Yogyakarta. Sebelumnya pria berputra tiga ini tidak lain adalah seorang asisten dokter saat masih berada di Bengkulu, dan Ali pun masih bersekolah di SD. Dokter tersebutlah yang membiayai Ali dalam memperoleh pendidikan. Namun, mereka berpisah ketika ia SMP karena Ali memilih untuk tinggal di Yogyakarta. Sedangkan dokter tersebut pindah ke Pati. Sepeninggal dokter tersebut tentu saja memaksa Ali untuk lebih mandiri. Dia sudah berparuh waktu sebagai loper koran “Masa Kini” dan karyawan warung padang, kesulitan ekonomi tetap melanda. Pada akhirnya, menyebabkan Ali putus kuliah yang sebelumnya berkuliah di STI Dakwah Syuhada.

Ali Fitriadi besar dengan didikan agama yang kuat. Keluarga yang mendidik ilmu agama yang baik, menciptakan ketertarikan pada dunia ilmu agama dan dakwah sepanjang hidupnya. Hampir setengah hidup Ali digunakan untuk mendalami ilmu agama. Ia menanggapi kondisi pendidikan agama pada anak muda sekarang, pada dasarnya dikarenakan didikan dari orang tua yang dinilai kurang menekankan kewajiban beragama. Berawal dengan ilmu agama yang rendah, mendukung anak muda untuk tidak tertarik pada agama. Ia juga menengaskan bahwa teknologi juga membuat agama menjadi bidang yang tidak menarik, dikarenakan teknologi senantiasa berubah setiap waktu.

Tahun 2003 adalah awal pergerakan islam Ali bertambah kuat saat menjadi pengurus Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning, di komplek Gubernur. Sejarah ia pernah bersekolah di STI Dakwah Syuhada membuatnya diterima menjadi pengurus Sulthoni. Menjadi pengurus masjid membuat segala ilmu yang ia dapat pada STI Dakwah Syuhada tidak sia-sia. Ia aktif dalam kegiatan masjid, baik menjadi imam, khotib, hingga mengurusi TPA. Bakat dalam dunia ilmu agama pun tersalurkan. Pada masa kepengurusan, Ali melihat mirisnya masjid Malioboro ketika menekuni pekerjaan sambilannya sebagai pedagang nasi padang di Malioboro. Masjid Malioboro belum difungsikan sewajarnya sebuah masjid, tidak mengumandangkan adzan, dan tidak pada dalam kepengurusan.

Ali pun mengangkat isu tentang masjid Malioboro yang disfungsi pada diskusi rutin kepengurusan masjid Sulthoni. Ali dan kawan-kawan membahas tentang kondisi masjid Malioboro. Jiwa mereka tergerak untuk membantu kepengurusan masjid malioboro dalam mencari khatib, imam, maupun pengurus lainnya. Masjid tersebut memang dalam managemen DPRD. Setelah bertanya-tanya, mereka pun menemui bidang umum DPRD. Ali dan kawan-kawan pun berdialog dan mencari jalan keluar pada masalah masjid malioboro. “Ternyata kesulitannya adalah tidak adanya orang yang standby disini, kami memahami bahwa urusan DPRD itu juga banyak.” ujarnya. Lalu dari DPRD tersebut menawari salah satu dari Ali dan kawan-kawan untuk menjadi penjaga masjid Malioboro. “Akhirnya saya menyetujui” pungkas Ali. Ia pun menjadi Marbot pertama Masjid Malioboro.

Satu tahun sebelumnya, DPRD mengadakan pertemuan untuk membahas masalah malioboro. Mahasiswa dan tokoh masyarakat pun diundang. Masjid Sulthoni mendapat undangan tersebut, dan Ali pun masih menduduki kepengurusan di Masjid Sulthoni. Pada pertemuan tersebut, Ali mengemukakakan gagasan terhadap pembangunan masjid malioboro, agar segera diperbaiki dan diperbesar, karena dibandingkan dengan masyarakat malioboro dan pendatang, tentu masjid tersebut tidak seimbang. Masjid Malioboro masih berupa Musholla, dan hanya dapat menampung puluhan jamaah. Gagasan Ali pun diterima, dan Ali juga menjelaskan bahwa DPRD telah mengkonsepkan tentang pembangunan masjid Malioboro. “Masa kok gedungnya sangat megah sekali (DPRD), tapi didepanya cuma mushola kecil, padahalnya ini kita itu mayoritas muslim” Tegasnya.

Ali menceritakan dengan suaranya yang berat, tentang keindahan kota asalnya, Bengkulu. Orangtuanya adalah petani, ia juga membantu dalam bercocok tanam dan kadang kali melaut. Tanah Subur, ladang yang luas, juga terdapat kebun kopi dan coklat. Namun, ia memilih untuk tetap tinggal di Yogyakarta, ia merasa lebih betah di Yogyakarta. “Mungkin ini sudah jiwa rantau.” tegasnya dengan sedikit tertawa. Ia juga menjelaskan keuntungan orang-orang rantau. “Orang rantau itu tidak malu dan gengsi untuk bekerja dan berusaha, termasuk berjualan masakan padang dan loper koran.” ucap Ali sembari tertawa.

Ali kembali mondar-mandir di masjid Malioboro yang berarsitektur Turki. Entah membersihkan ruangan, maupun menata sepatu. Sepuluh tahun lebih sudah berlalu, termasuk tinggal dalam kamar berukuran 3x3, dengan dapur dan meja makan diluar. Tentu, kemewahannya tidak bisa dibandingkan dengan gedung yang ada di sebelah. Ia tinggal bersama istri dan anak bungsunya. Dengan gaji Rp.500.000, ia menjelaskan bahwa memang pas-pasan. Tidak ada biaya tambahan dari DPRD untuk dia, sang marbot masjid malioboro. Pendapatan murni dari infaq, yang dipotong dan menjadi jumlah 500,000 tersebut. Jika ada tambahan, itupun dari uang kebersihan toilet yang tidak seberapa, juga ongkos menjaga sepatu jamaah. “Kalau kita lihat itu pengurus masjid itu semuanya prihatin.” tuturnya.