“Begitu
rendahnya sehingga mereka membenarkan orang Papua disayat, diperkosa,
untuk kesenangan mereka seperti berolahraga.” Ucap Filep Karma.
Tatapan
semua orang terfokus pada satu titik orang bergerombol pada seseorang
papua muda. Papua muda itu Obby Kogoya, tersungkur ke tanah. Lampu
perempatan itu masih menyala seperti biasa. Namun hari itu lalu
lalang pengendara tidak sesibuk biasanya.
“Tolong
Tuhan, tolong.. saya tidak salah, Tuhan tolong saya tidak salah, adu
mama tolong, adu
mama tolong.” rintih Obby.
Beberapa
polisi berpakaian preman itu tidak mendengarkan permohonan Obby.
Mereka tetap menghujani papua muda itu dengan injakan, tendangan, dan
pukulan.
Hidung
Obby pun sempat ditarik, kepalanya pun sempat diinjak.
“Kenapa
saudara saya dapat pukul begini-begitu, kami tidak tahu masalah, ada
masalah apa?”
Ia
melanjutkan, “Obby tidak melakukan apa-apa!”
Bukannya
diberi jawaban, Debby Kogoya, kembaran Obby itu justru diborgol
tangannya serta dibentak.
“E
kau bicara apa!” Teriak salah satu polisi.
Tidak
ada yang mampu menolong Obby kala itu. Niles Wandik pun melihat
Obby sedang jatuh
dan diinjak-injak serta di pukul oleh beberapa polisi yang tidak
berseragam dinas. Brimob dengan seragam dan senjata lengkap pun
berdiri melingkari orang-orang yang sedang memukul, menginjak dan
menendang itu.
“Tolong!
Tolong! Tolong!” Obby masih meneriakkan permohonan.
“Kamu
diam dulu!” bentak polisi yang sedang menggeromboli sembari
memborgol pria malang itu dengan tali.
Proses
pengikatannya pun dilakukan dengan amat kasar. Hampir setidaknya 8
orang membantu untuk mengikat. Dengan jalan terseok-seok, kakinya
yang pincang mengantarkannya ke mobil polisi untuk dibawa ke Polda
DIY.
Wajah
lebam nan basah dengan darah, dan luka-luka di sekujur badannya pun
terlihat jelas.
Tadinya
pun, Niles Wandik yang sedang berusaha memasuki Asrama Mahasiswa
Papua melalui pagar Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa pun
ditahan oleh seorang Brimob berseragam lengkap, karena mencoba untuk
mendekati Obby yang tak henti-hentinya berteriak minta tolong. “kamu
bikin apa di
sini”,
sambil menarik tanggan Niles ke
arah
depan kampus UST.
Akhirnya
pun tidak menyenangkan. Obby ditetapkan sebagai tersangka karena
dianggap melawan aparat dengan kekerasan. Penetapan tersangka ini
memutarbalikkan fakta yang seharusnya Obby menjadi korban, justru
menjadi pelaku tindak kekerasan. Praperadilan penetapan tersangka pun
ditolak seluruhnya oleh Hakim Pengadilan Negeri Sleman, 30 Agustus
silam.
Aksi
Mimbar Bebas 14 Juli 2016
Beberapa
saat yang lalu pun, saat pembubaran aksi damai mahasiswa Papua dan
aktivis prodemokrasi yang mendukung United Liberation Movement for
West Papua (ULMWP) kental dengan unsur diskriminasi rasial. Aksi yang
rencanannya berlangsung dari Asrama Papua menuju titik nol Yogyakarta
batal terlaksana karena polisi dan sejumlah anggota organisasi
kemasyarakatan kota mengepung asrama mahasiswa papua. Akibatnya,
sekitar 100 mahasiswa dan aktivis prodem tertahan di dalam asrama.
Intimidasi
pun terjadi begitu pelik dari luar gerbang asrama. “Asu kamu!
Bajingan Kamu!” diteriakkan oleh aparat kepada mahasiswa papua yang
kepergok merekam bentrokan aparat dan mahasiswa papua. Video ini pun
telah diunggah ke salah satu situs video
sharing,
Youtube. Organisasi masyarakat kerap meneriakkan ucapan-ucapan
provokatif.
“Hei
mahasiswa papua! Babi kau! Anjing! Minggat Kau!”
“Hei
anak monyet! Sini!”
Ternyata,
teriakan “Monyet! Babi!” itu bukan bentuk ujaran kebencian rasial
yang baru untuk orang Papua. Filep Karma pun menjelaskan dalam
bukunya, “Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua, sering
dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan kitorang
evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia.
Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah di Solo. Jadi mereka
bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari
kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali
orang Papua dikata-katai, “Monyet! Kethek!”
Begitu.”
Ujaran-ujaran
kebencian itulah yang pula membuat Aliansi Mahasiswa Papua khawatir
dengan rasialisme yang semakin mendalam, dan hilangnya jaminan
keamanan di Yogyakarta. Hal itu diperkuat pula dengan adanya ucapan
Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY sekaligus Raja.
Sultan dalam ucapannya meminta kepada orang Papua di Yogya untuk
tidak melakukan aksi separatisme, dan bagi yang memiliki aspirasi
separatisme, jangan tinggal di Yogya. Menurut Roy Karoba, Pengurus
Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua, Pernyataan tersebut
dikhawatirkan akan melegitimasi aparat serta ormas di Yogyakarta
untuk bertindak diskriminatif terhadap mahasiswa Papua.
“Label
separatis selama ini digunakan aparat sebagai legalitas untuk
membunuh, menangkap, meneror, mengintimidasi, dan memenjarakan orang
asli Papua.” Ucap Roy.
Stereotype
Terhadap Mahasiswa Papua
Minum
minuman keras, mabuk, berbau tidak sedap, lalu buat onar. Hal
tersebut melekat bagai simbol terhadap mahasiswa papua, khususnya di
Yogyakarta. Mahasiswa Papua di Yogyakarta juga lekat sebagai orang
yang tidak taat lalu lintas, dikarenakan lalu lintasnya di jalan raya
yang tidak perlu menggunakan helm, maupun tidak menaati aturan 'Satu
Motor Dua Orang' atau dalam arti lain, sering berbonceng tiga.
Terhadap
hal-hal yang saling berkaitan itulah, Mahasiswa Papua susah untuk
mendapat tempat kos. Dalam liputan BBC
Indonesia,
hal tersebut dikarenakan pandangan umum yang menganggap orang Papua
sering mabuk, suka melanggar peraturan, dan suka berkelahi. Pada
akhirnya, stigma-stigma tersebutlah yang membuat papua tetap dalam
pandangan negatif dan juga sulit mendapat simpati masyarakat.
Ternyata,
stigma itu pun sudah ada sejak hadirnya pendatang dari Melayu ke
Papua, saat menjadi tukang-tukang bantuan, guru-guru bantu, dan staf
administrasi yang dipakai para penginjil dan pendeta Eropa untuk
membantu kegiatan pekabaran injil di Tanah Papua. Saat itu pula dalam
nama Papua, ada penghinaan kulit hitam berdaki (hitam badaki), paling
kotor (pangkotor), berbau busuk tak sedap (babau), tidak tahu mandi
(tra tau mandi), pantat telanjang, telinga berlubang (telinga
balobang). Hal itu menunjukkan bahwa rasialisme berkembang, dan
hingga saat ini belum surut pula.
Filep
Karma Memandang Isu Rasialisme
Filep
Karma menjelaskan bagaimana di masa lalu, saat Orde Baru, menyatakan
bahwa “Saya Papua” adalah tindakan yang dianggap 'sudah
separatis', sehingga saat ada tentara yang mendengar pernyataan
tersebut, mereka akan berteriak “Apa maksutmu?! Kau separatis?!”
Buku
'Seakan Kitorang Setengah Binatang' sedikit banyak menjelaskan
tentang rasialisme yang terjadi di Papua yang dilakukan oleh
Indonesia. Bagaimanapun, isu rasialisme adalah unsur yang paling
dekat dengan konflik Indonesia - Papua. Filep Karma pun mengiyakan
dalam bukunya, perlakuan kejam Indonesia terhadap orang Papua ini
karena dasar rasialisme mendalam. Orang Indonesia pada umumnya, dan
tentara khususnya, menganggap orang Papua, dengan identitas Melanesia
dan Kristen, lebih rendah dari identitas Indonesia. Begitu rendahnya
sehingga mereka membenarkan orang Papua disayat, diperkosa, untuk
kesenangan mereka seperti berolahraga.
Filep
bercerita, ada suatu ketika, para tentara mengejek seorang pria Papua
yang sekarat dengan seolah kepada 'setengah-binatang', mengejek
cita-citanya agar papua merdeka. Seakan-akan dengan meneriakkan
semangat kemerdekaan, orang Papua berhak diperlakukan setengah
binatang.
Perlakuan
diskriminatif sudah mulai terlihat pada tahun 1963, ketika Indonesia
mendapat mandat dari Persatuan Bangsa Bangsa untuk mengelola Papua
secara sementara. Indonesia datang dan bertindak brutal dan
sewenang-wenang. Menurut Filep, kesewenang-wenangan itu pun tumbuh
dari rasa superioritas. Indonesia merasa super, merasa pintar, dan
merasa memegang kekuasaan. Suatu ketika pun, di 1963 saat belanda
meninggalkan Papua beserta infrastruktur dan fasilitas kesehatan dan
pendidikan, militer Indonesia datang resmi ke Indonesia dan menjarah
barang-barang peninggalan belanda dan dibawa pulang ke Jawa. “Jadi,
belanda itu pulang hanya membawa koper pakaian-pakaian” ucap Filep
Karma sembari tertawa, saat ia mengisi diskusi di Seknas Gusdurian,
22 Agustus lalu.
Menurut
Filep, latar belakang budaya dalam Jawa pun melihat individu yang
berkulit hitam, keriting, adalah penggambaran dari keluarga Kurawa
dalam Wayang Mahabharata. Dalam wayang itu pun, digambarkan
tokoh-tokoh Kurawa, keluarga yang jahat, pasti berkulit hitam,
keriting. Perangainya kasar, bodoh, brutal, memaksakan kehendak, dan
wajib dibinasakan. Secara sadar atau tidak, sudah terpatri di benak
teman-teman dari budaya wayang bahwa orang kulit hitam tersebut
jahat.
Pada
akhirnya, diskriminasi tersebutlah yang menjadi landasan untuk
perampasan hak-hak orang Papua yang sering terjadi, antara lain
tanah, posisi di pemerintahan, ataupun perusahaan-perusahaan swasta
yang dimiliki orang Papua. Caranya pun mudah, cukup dengan menuduh
orang Papua tersebut OPM, maka saat itu orang itu ditangkap, dan
semua asetnya berpindah tangan ke non-papua. Pada akhirnya, memang
isu menuduh OPM yang melekat pada pribadi orang Papua, menjadi isu
yang diskriminatif, yang menjadi pembenaran untuk melakukan
penangkapan, penghilangan paksa, bahkan penyiksaan hingga pembunuhan
terhadap orang Papua. Bahkan pula saat orang Papua meneriakkan
hak-haknya. “Bila dia bicara menuntut haknya, sudah ditangkap dan
dipenjarakan. Ini membuat luka-luka cukup dalam bagi mereka.” Ucap
Filep.
*Dimuat dalam Majalah SAKSI (LBH Yogyakarta) Tahun 2016